Judul
: Paradigma Politik NU Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik
Penulis
: Ridwan, M.Ag.
Penerbit
: Pustaka Pelajar
Tebal
: 314 halaman
ISBN : 979-3477-59-8
Peresensi :
Junaidi Khab*
Nahdlatul Ulama (NU) bisa dipahami sebagai jam’iyah atau
gerakan sosial yang sulit dipisahkan dari dinamika politik nasional. Organisasi
dengan komunitas santri terbesar tersebut menyebabkan aktivis nya seringkali
terlibat di dalam kegiatan politik (praktis). Tujuan kenegaraan hingga partai
politik hampir tidak mungkin mengabaikan kekuatan dan jaringan sosial jam’iyah
ini.
Dinamika NU seperti sebuah perahu yang mendayung di
antara dua pulau, yaitu sebagai gerakan sosial dan aura politik yang melekat
padanya. Karena itu, masa depan NU ditentukan kemampuannya menggunakan biduk
secara tepat di tengah gelombang politik nasional dan tuntutan sosial sebagai
konsekuensi gerakan sosial (Hal. v-vi).
Pemaknaan perilaku politik santri dari pengikut dua
organisasi Islam terbesar di negeri ini (NU dan Muhammadiyah) merupakan
perdebatan panjang yang tak mudah didialogkan dan dipecahkan. Namun, politik
haruslah di pahami sebagai masalah publik dengan sistem dan mekanismenya
sendiri. Fakta hidup kaum santri di dalam suatu realitas kebangsaan, membawa
mereka pada suatu sistem dan mekanisme di luar cara hidup tradisional
kesantrian.
Salah satu sumber pembenaran agama dalam bentuk perilaku
politik NU adalah keyakinan para pemeluknya bahwa hukum mempunyai kemampuan
yang tinggi dalam menyerap dan mengakomodasikan setiap perkembangan dan
kebutuhan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap persoalan dapat dijawab
dan dijelaskan atau diantisipasi secara fiqh. Dalam konteks ini fiqh tampak
berfungsi memberikan pembenaran terhadap perilaku politik NU dan kemungkinan
perubahan tingkah laku itu sendiri ketika menghadapi realitas yang berubah pula
(Hal. 203).
Konflik politik mungkin lebih tepat jika dipetakan dalam
polarisasi baru di luar peta modernis dan tradisionalis. Tapi soal beda
kepentingan yang profan dan sekuler merupakan fakta bahwa kaum santri yang
disebut tradisionalis itu kini banyak bergelar sarjana dan doktor dalam
berbagai bidang ilmu. Mereka tiba-tiba harus memobilisasi diri secara vertikal
bersama naiknya beberapa elite gerakan ini ke dalam pentas politik nasional,
sebagai presiden, ketua DPR, menteri, atau jabatan publik lainnya.
Namun, kendatipun demikian, dengan jelas NU tetap
menganut sistem kepercayaan dalam menangani persoalan hidup yang bersumber dari
ahl al-sunnan wal jama’ah yang lebih mengedepankan sikap tawassuth, tawazun,
dan ta’adul. Implementasi nilai-nilai tersebut tercermin dari sikap penganut
Sunni yang elastis, fleksibel, dan toleran dalam menghadapi pluralitas sosial
dengan berbagai ragam tradisi dan keyakinan dengan mengambil sikap tengah. Ia
tidak mendahulukan akal daripada nash, tetapi juga tidak mengebiri potensi
akal. Ia tidak mengenal sikap ekstrim dan tidak mengkafirkan sesama muslim
(Hal. 121).
Generasi muda santri tradisionalis yang sebenarnya juga
berlaku bagi santri modernis dituntut menjadikan berbagai sektor kehidupan
modern, industrial, dan kota sebagai pusat kesantrian baru. Elite santri dan
pemimpin berbagai gerakan Islam harus membuka diri dari ego personal
kolektifnya terhadap pementingan diri pribadi. Tanpa sikap demikian, bukan
egoisme atau kesadaran kolektif aliran yang mungkin tumbuh, tetapi ego
klientalisme personal yang tidak lagi peka dan peduli terhadap segala akibat
buruk dari tindakan politik terhadap Islam dan kesantrian, apalagi kemanusiaan
dan kebangsaan.
Akibatnya, solidaritas atau kesadaran kemanusiaan dan
kebangsaan kaum santri seringkali sulit dipenuhi. Sentimen islamisme di awal
kemerdekaan yang semula merupakan basis kekuatan dari gerakan yang semula
merupakan basis kekuatan dari gerakan perang kemerdekaan, bisa muncul dalam
bentuk yang lebih berbahaya di alam demokrasi yang lebih terbuka ini, kecuali
hal tersebut bisa didesakralasasi.
Meskipun kecenderungan politik itu telah muncul sejak
semula, namun dalam prakteknya kurang memperoleh penyaluran formal dalam agenda
muktamar. Karena para pemimpin NU kurang mampu merumuskan cita-cita politik
yang berdimensi luas dan sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk kurang
mendukungnya. Baru setelah beberapa generasi muda NU yang berpendidikan Barat
seperti Muhammad Iljas, K.H. Wahdi Hasyim, Mahfudz Siddiq, Abdullah Ubaid
berperan, maka kecenderungan untuk menggalang kerjasama dengan kekuatan lain
dilakukan (Hal. 192).
Karya Ridwan ini bisa ditempatkan sebagai usaha
penjernihan berbagai persoalan politik di kalangan komunitas Muslim, lebih
khusus bagi komunitas NU. Dari buku semacam ini kita bisa memahami bagaimana NU
memandang persoalan politik dan dirinya sebagai bagian dari pemahaman dan
praktik keagamaan (teologi). Pembaca akan memperoleh gambaran tentang berbagai
persoalan politik dalam dinamika gerakan Islam terbasar di Indonesia ini,
sekaligus memahami dinamika politik nasioanl. Namun untuk itu diperlukan sikap
kritis, baik terhadap karya seperti ini ataupun terhadap setiap pandangn atau
keyakinan keagamaan, lebih-lebih yang berkaitan dengan dinamika kehidupan
sosial dan politik. (sbb/dakwatuna)
Tentang Junaidi Khab
Selengkapnya.
http://www.dakwatuna.com/2013/08/30/38729/memahami-paradigma-politik-nu/#axzz2dVxQW5fP