Minggu, 15 September 2013

Kudeta di Mesir dan Paranoia di Indonesia


Pada edisi Senin, 19 Agustus 2013, surat kabar Republika memuat sebuah artikel opini dari Arsyad Abrar. Dalam artikel yang diberi judul “Akar Krisis Mesir” tersebut, Arsyad berusaha menggali akar permasalahan dari krisis berdarah yang melanda Mesir belakangan ini. Dalam analisisnya, Arsyad nampaknya ingin menunjukkan bahwa sumber konflik utama adalah adanya keinginan untuk menjadikan Mesir sebagai negara Islam. Keinginan ini mendapat tantangan keras dari kelompok sekuler, sehingga terjadilah pertentangan yang menumpahkan darah rakyat Mesir sendiri.

Arsyad kemudian melanjutkan dengan sebuah teori bahwa Mesir tidaklah terdiri dari satu keyakinan saja, dan karenanya, seyogyanya kaum yang disebutnya sebagai ‘Islamis’ harus bisa berhidupan dengan kaum sekularis. Koeksistensi ini dapat dilakukan seandainya mereka memiliki tujuan yang sama, yaitu tujuan kemanusiaan. Oleh karena itu, istilah ‘humanis’ lebih disukai ketimbang ‘Islamis’.

Selanjutnya, Arsyad menggunakan pula istilah ‘Islam humanis’, yang disebutnya “...tidak lagi mengusung jubah sebagai pakaian agama, tidak lagi membicarakan warna putih sebagai warna kesucian. Tidak mengklaim penampilan tertentu yang dinilai lebih Islami.” Uraian pun ditutup dengan sebuah harapan agar “Di masa yang akan datang, bakal lahir Islam dengan wajah yang baru tanpa perlu melibatkan atribut keislaman manapun.”
Pertama-tama, perlu diberikan catatan bahwa dengan utopia yang disampaikan di akhir karangan tersebut, sebenarnya Arsyad telah memihak sepenuhnya kepada kalangan sekularis. Sebab, apa yang diimpikannya – yaitu Islam tanpa atribut keislaman – adalah impian kaum sekularis juga.

Kaum sekularis, sebagaimana telah kita maklumi bersama, bukanlah kaum yang tidak beragama. Memang sebagian di antara mereka ada yang ateis, namun tidak mesti demikian. Sekularisme hanya menghendaki agar agama tidak dipraktekkan dalam hal sosial-kemasyarakatan, termasuk atribut-atribut keagamaannya tidak boleh digunakan di ruang publik.

Di Barat, perdebatan soal hijab seolah tak ada habisnya. Karena pandangan kaum sekularis yang demikian itu, maka perdebatan selalu terjadi berulang-ulang. Apa kerugian yang dialami oleh masyarakat Barat jika ada Muslimah berhijab sempurna di lingkungan mereka? Pada hakikatnya, tidak ada! Akan tetapi, hijab terus saja dipermasalahkan oleh kaum sekularis di seluruh dunia.

Di Indonesia, provokasi dan kekerasan verbal justru dilakukan oleh kalangan penentang hijab kepada yang berhijab, dan bukan sebaliknya. Di dunia maya, kita misalnya dapat merujuk pada ucapan kasar yang dilontarkan oleh Luthfi Assyaukanie melalui akun Twitter-nya kepada mereka yang mengenakan hijab di luar shalat dan acara pengajian. Tidak tanggung-tanggung, Luthfi menyebut mereka (maaf karena kata ini tidak sopan) “bego”. Pernyataan ini pun diteruskan oleh rekannya yang juga aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Nong Darol Mahmada, dan juga oleh para follower-nya di Twitter.

Disadari atau tidak, Arsyad juga terjebak pada permasalahan yang sama seperti kaum sekularis yang lainnya ketika mengusulkan ‘Islam humanis’ yang “Tidak mengklaim penampilan tertentu yang dinilai lebih Islami.” Padahal, Islam nyata-nyata menjelaskan kriteria pakaian yang dapat dibenarkan dan yang tidak. Akan tetapi, agaknya, dengan penambahan kata “humanis” di belakangnya, Islam sudah kehilangan kemurniannya, sehingga aturan-aturannya dikurangi.

Arsyad juga nampaknya melupakan fakta bahwa apa yang terjadi di Mesir tidak tepat untuk disebut sebagai bentrokan atau kericuhan, melainkan pembantaian. Jika demonstrasi jutaan rakyat terjadi di jalan-jalan, peluang terjadinya bentrokan memang ada. Tapi jika sampai 5.000 orang lebih dibantai (meski media massa mainstream biasanya hanya menyebut angka ratusan) di jalan-jalan, kita pun perlu bertanya: apakah memang sebanyak itu korban jiwa yang harus jatuh? Apakah sebanyak itu demonstran yang membawa senjata dan melakukan perlawanan terhadap polisi dan militer Mesir?

Jika akar permasalahan dari pembantaian di Mesir ini adalah pertentangan antara kaum ‘Islamis’ dan sekularis, maka jelaslah bahwa yang melakukan pembantaian adalah kaum sekularis. Oleh karena itu, semestinya Arsyad memberikan kritik dalam porsi lebih besar kepada kaum sekularis. Terlepas dari pertentangan pendapat yang terjadi, tidak semestinya terjadi pembantaian. Selain itu, jika pemerintahan Dr. Muhammad Mursi diidentikkan sebagai ‘pemerintahan kaum Islamis’, maka perlu digarisbawahi juga fakta bahwa ketika ‘Islamis’ berkuasa, tidak pernah terjadi pembantaian kaum sekularis.

Beranjak kepada permasalahan berikutnya, Arsyad mengusulkan sebuah tujuan bersama untuk mendamaikan kaum ‘Islamis’ dan sekularis, yaitu tujuan yang bersifat ‘humanis’. Akan tetapi, patutkah kita berbicara tentang kemanusiaan kepada kelompok yang baru saja membantai ribuan orang dalam hitungan hari? Dengan demikian, usulan Arsyad sudah dimentahkan oleh kaum sekularis sendiri sebelum ia sempat didiskusikan lebih jauh.
Di Indonesia sendiri, kaum sekularis tidak menunjukkan sikap empati ketika menanggapi permasalahan yang terjadi di Mesir. Di berbagai media Islam, telah banyak dibahas pernyataan kontroversial Zuhairi Misrawi yang menulis di akun Twitter-nya “Kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan.” Ironisnya, pernyataan ini datang dari seorang tokoh yang kerap diberi predikat ‘Pengamat Politik Timur Tengah’ dan sering tampil di beberapa stasiun televisi swasta untuk membahas persoalan Mesir dan Palestina. Kita tidak dapat membayangkan analisis semacam apa yang dihasilkan oleh seorang pengamat yang tidak berempati terhadap pembantaian yang tengah terjadi di Mesir.

Arsyad juga nampaknya telah melupakan fakta bahwa Islam dan sekularisme memang tidak memiliki tujuan yang sama, dan karenanya, memang tak mungkin bersatu. Jika dikatakan “kemanusiaan”, maka kemanusiaan yang dibicarakan oleh Islam tidaklah sama seperti yang dalam pembicaraan kaum sekuler. Kemanusiaan dalam Islam adalah kemanusiaan yang tidak mengabaikan hak-hak Allah SWT untuk ditaati, sedangkan kemanusiaan versi sekuler adalah yang berorientasi pada keinginan manusia itu sendiri. Cara berpikir antroposentris inilah yang disebut sebagai “humanisme”. Itulah sebabnya ‘Islam humanis’ justru mereduksi Islam itu sendiri, sebagaimana telah dibuktikan di atas.

Pada akhirnya, umat Muslim pun kembali dibuat terheran-heran menyaksikan paranoia kaum sekularis kepada kelompok yang disebutnya sebagai ‘Islamis’. Istilah “Islamis” kerap kali dibenturkan dengan “humanis” (dan “humanis” kerap kali dianggap semakna dengan “kemanusiaan”), sehingga muncul kesan seolah-olah Islam itu tidak berperikemanusiaan. Dalam diskusi lain, muncul pula polarisasi antara ‘Islamis’ dengan nasionalis, seolah-olah mereka yang disebut sebagai ‘Islamis’ tidak memiliki sifat nasionalis barang sedikit pun.

Sebenarnya, ‘Islamis’ adalah satu dari sekian banyak label yang diberikan oleh Barat kepada sebagian umat Muslim. Yang disebut ‘Islamis’ justru tak pernah menyebut dirinya dengan nama itu. Islam tidak punya masalah dengan perikemanusiaan, sebab Islam mampu mendefinisikan kemanusiaan secara komprehensif. Islam juga tidak mempertentangkan dirinya dengan perasaan cinta tanah air, sebab hal yang demikian itu adalah fitrah bagi seluruh manusia.

Semestinya, kita tidak melupakan sejarah. Para pejuang negeri ini dahulu bertakbir di medan jihad, dan seruan untuk melawan penjajah diteriakkan oleh para kyai dan ulama dari surau-surau dan masjid-masjid. Demikian juga di Mesir, para ulama-lah yang mengobarkan jihad untuk mengusir penjajah yang menghisap kekayaan negeri Mesir untuk dibawa ke negerinya sendiri. Jangan lupakan juga, para ulama Mesir-lah yang dahulu menggalang dukungan kepada Indonesia, sehingga Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merekalah yang kini disebut sebagai kaum ‘Islamis’.



Wassalaamu'alaikum wr. wb.

Akmal Sjafril 


Catatan: Saya tidak berhasil menemukan artikel "Akar Krisis di Mesir" di laman situs Republika. Meski demikian, artikel ternyata dituliskan kembali dalam sebuah blog milik orang lain. Selengkapnya bisa dibaca di http://budisansblog.blogspot.com/2013/08/akar-krisis-mesir.html.