Kudeta Militer yang terjadi di Mesir terus mendapatkan
kecaman dari berbagai pihak, Pengamat Timur Tengah, Ahmad dzakirin M.Sc,
menilai kudeta yang dilancarkan militer Mesir ini adalah preseden buruk bagi
pelaksanaan demokrasi di dunia.
“Sudah jelas bahwa Mursi adalah Presiden yang sah dari sebuah proses politik yang bersih dan demokratis, dan justru menjadi preseden buruk bagi masyarakat dunia ketika penggulingan kekuasaan yang demokratis bertentangan dengan nilai demokrasi,” papar Dzakirin dalam dialog di Radio Republik Indonesia (RRI), Jum’at (2/8) pagi.
Setidaknya, papar Dzakirin, ada dua sisi mata koin melihat kondisi di Mesir sekarang terkait kudeta militer yang telah menelan korban ribuan warga sipil tersebut.
“Yang pertama adalah aspek politik, kelompok liberal di Mesir menciderai komitmennya untuk mendukung demokrasi dengan mengundang militer di ranah politik dan ikut campur tangan,” terang pria yang juga Penasehat Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia (JPRMI) Jawa Tengah ini.
Hal ini, imbuhnya, juga sekaligus otokritik bagi Amerika Serikat (AS) dan Barat untuk mengedepankan nilai demokrasi dengan bangsa lain. Menurut Dzakirin, politik luar negeri AS berkata bahwa tidak akan ada kerjasama luar negeri dengan negara yang tidak demokratis.
“Jika demikian berati AS menyalahi politik luar negerinya sendiri, dan itu tidak baik untuk perjalanan demorasi. Padahal jika AS menyatakan bahwa hal tersebut adalah kudeta militer, akan memiliki implikasi politik dan hukum bagi Mesir,” jelas Penulis buku berjudul Studi Kebangkitan Pos Islamisme AKP Turki ini.
Lebih lanjut, kata pria yang sedang meneruskan program doktoralnya di Jurusan Political Advisor University of Sidney, Australia ini, aspek kedua adalah agama. Dikatakannya, dukungan ini lebih merefleksikan adanya penggangsingan kekuasaan yang mendzalimi.
“Dukungan kita adalah ada satu fakta pendzalimin kekuasaan secara tidak beradab, dan itu menjadi komitmen kaum muslimin di Indonesia, dimana Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia,” tandasnya.
Sementara itu bagi Indonesia, menurut Dzakirin, selayaknya Indonesia mendukung penuh pemerintahan yang demokratis, karena jelas bahwa Mesir adalah sahabat bagi Indonesia. “Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, itu artinya Indonesia berhutang budi kepada Mesir,” kata Dzakirin.
Dzakirin juga menghimbau agar ummat Islam di Indonesia untuk menumbuhkan kembali kepedulian ummat Islam kepada Mesir. “Momentum Ramadhan adalah saat yang tepat melahirkan kembali sensitivitas dan kepedulian kita,” pungkasnya. (DWI/IM)
“Sudah jelas bahwa Mursi adalah Presiden yang sah dari sebuah proses politik yang bersih dan demokratis, dan justru menjadi preseden buruk bagi masyarakat dunia ketika penggulingan kekuasaan yang demokratis bertentangan dengan nilai demokrasi,” papar Dzakirin dalam dialog di Radio Republik Indonesia (RRI), Jum’at (2/8) pagi.
Setidaknya, papar Dzakirin, ada dua sisi mata koin melihat kondisi di Mesir sekarang terkait kudeta militer yang telah menelan korban ribuan warga sipil tersebut.
“Yang pertama adalah aspek politik, kelompok liberal di Mesir menciderai komitmennya untuk mendukung demokrasi dengan mengundang militer di ranah politik dan ikut campur tangan,” terang pria yang juga Penasehat Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia (JPRMI) Jawa Tengah ini.
Hal ini, imbuhnya, juga sekaligus otokritik bagi Amerika Serikat (AS) dan Barat untuk mengedepankan nilai demokrasi dengan bangsa lain. Menurut Dzakirin, politik luar negeri AS berkata bahwa tidak akan ada kerjasama luar negeri dengan negara yang tidak demokratis.
“Jika demikian berati AS menyalahi politik luar negerinya sendiri, dan itu tidak baik untuk perjalanan demorasi. Padahal jika AS menyatakan bahwa hal tersebut adalah kudeta militer, akan memiliki implikasi politik dan hukum bagi Mesir,” jelas Penulis buku berjudul Studi Kebangkitan Pos Islamisme AKP Turki ini.
Lebih lanjut, kata pria yang sedang meneruskan program doktoralnya di Jurusan Political Advisor University of Sidney, Australia ini, aspek kedua adalah agama. Dikatakannya, dukungan ini lebih merefleksikan adanya penggangsingan kekuasaan yang mendzalimi.
“Dukungan kita adalah ada satu fakta pendzalimin kekuasaan secara tidak beradab, dan itu menjadi komitmen kaum muslimin di Indonesia, dimana Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia,” tandasnya.
Sementara itu bagi Indonesia, menurut Dzakirin, selayaknya Indonesia mendukung penuh pemerintahan yang demokratis, karena jelas bahwa Mesir adalah sahabat bagi Indonesia. “Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, itu artinya Indonesia berhutang budi kepada Mesir,” kata Dzakirin.
Dzakirin juga menghimbau agar ummat Islam di Indonesia untuk menumbuhkan kembali kepedulian ummat Islam kepada Mesir. “Momentum Ramadhan adalah saat yang tepat melahirkan kembali sensitivitas dan kepedulian kita,” pungkasnya. (DWI/IM)