Tetapi celetukan tak sengaja saya
memuji kekompakan mereka ditepis oleh tamu sebelah saya dan didukung keterangan
nenek sebelah yang notabenenya adalah ibu dari si lelaki yang menyanyi.
Rupa-rupanya status mereka saat menikah adalah duda dan janda. Bukan statusnya
yang disayangkan, namun proses menuju pernikahan itu yang harus diambil
pelajaran. Sebelumnya beliau berdua sudah memiliki istri dan suami
masing-masing. Si pria dengan empat anak dan si wanita dengan tiga anak. Rumah
mereka tadinya berhadap-hadapan. Entah
karena interaksi yang berkelanjutan, entah karena mata yang tak kuasa untuk
terus memandang, singkat cerita mereka berdua pun saling jatuh cinta. Tentu
saja keluarga menentang, apalagi si nenek yang sudah menganggap menantu
perempuannya itu menantu kesayangan. Tapi apatah lagi hendak dikata, mereka
benar-benar dimabuk cinta. “Namanya sudah cinta, mau gimana lagi?”. Maka mereka
pun bercerai dari pasangan semula dan meninggalkan anak-anak-anaknya demi
merajut cinta.
Mendengar kisah nenek itu, saya
jadi teringat dengan sebuah film India yang saya lupa judulnya. Dalam film itu
seorang ibu meninggalkan suami dan anaknya karena ia jatuh cinta pada pria
lain. “Namanya sudah cinta, daripada mati tersiksa memendam cinta?”. Ah ya, film itu memang secara langsung dan
tak langsung membenarkan segala tindakan
atas nama cinta. Maka saya tidak merekomendasikannya.
Dua cerita di atas terjadi pada
orang ammah dan non-Islam. Mau saya
ceritakan pada mereka tentang keutamaan memprioritaskan agama dalam kriteria
memilih pasangan, mau dianjurkan menelaah segala buku yang memuat fiqh munakahat,
atau diingatkan dengan perkataan Umar ra “Jika menikah hanya karena cinta, di
manakah letak iman dan taqwa?”, sulitlah mereka pahami. Bagaimana dengan kita
para aktivis dakwah?
Ada kisah lain yang akan saya
paparkan,
Kisah pertama,
Ada seorang ikhwan yang dikenal
sebagai aktivis jempolan di kampusnya. Setiap ada kajian, aksi dan segala
kegiatan dakwah kampus, selalu ada dia. Perjuangan dan pengorbanannya dalam
dakwah kampus tidak ada yang memungkiri. Rupanya diam-diam ia mencintai seorang
akhwat. Akhwat mumpuni juga. Aktivis perempuan yang dikenal sangat aktif dalam kegiatan dakwah kampus. Si
Ikhwan ini terus mencintai si Akhwat dalam diamnya. Tidak pernah neko-neko, tidak
ada sms sok perhatian ngingetin dakwah dan semacamnya. Sampai ia lulus kuliah dan
sudah cukup matang dalam ma’isyah maka sudah masanya ia menjemput A’isyah.
Ikhwan tadi pun melamar si Akhwat secara langsung. Tak disangka-sangka, si
Akhwat pula mencintai si Ikhwan dalam diam. Maka menikahlah mereka.
Kisah kedua,
Di suatu daerah ada seorang
akhwat sholihah. Dengan penuh kesungguhan ia merintis dakwah di daerahnya. Ia
dikenal baik oleh sesiapa yang mengenalnya. Seperti kisah ‘Kiamat Sudah Dekat’,
ada preman yang jatuh hati pada akhwat tadi. Setiap hari si akhwat diikuti,
diajak bicara, didatangi rumahnya. Segala cara sudah diupayakan sang Akhwat
untuk menolak dengan halus setiap ajakan si preman. Tapi preman tadi tetap
nekat dan dengan penuh keyakinan menyatakan keinginannya untuk menikahi sang
akhwat. Setiap kejadian itu diceritakan si akhwat kepada murobbiyahnya. Sampai
akhirnya si preman diundang datang menemui murabbiyah akhwat tadi. Singkat
cerita dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi si preman, menikahlah akhwat
dan preman tadi.
Menurut ikhwatifillah kisah mana
yang terbaik?
Kabar dari pasangan pada kisah
pertama, mereka secara kasat mata hidup bahagia. Mereka bahagia dalam cinta
yang telah ada sebelum menikah. Tapi disadari atau tidak keterlibatan mereka
dalam dakwah semakin tiada. Mereka disibukkan dengan segala urusan kerumahtanggaan
yang menyita waktu sehingga kehadiran tiap pekan pun hanyalah waktu sisa. Apakah
lagi berharap semangat gebu mereka melebarkan sayap dakwah. Hampir-hampir tidak
bisa. Si Ikhwan bukanlah seperti Abdurrahman yang tampak sangat mencintai
Atikah istrinya namun lebih besar cinta kepada jihad di jalanNya.
Sedangkan kabar kisah kedua,
subhanallah, Allah benar-benar mencintai mereka. Si akhwat semakin gebu dalam
dakwah. Suaminya pun mengikuti jalan yang telah dirintisnya. Kabar terakhir
yang saya tahu, si preman tadi telah bermetamorfosis menjadi ikhwan tangguh
pula. Ia telah membina dua kelompok liqoat mantan preman. Justru suami si
akhwat tadi membuka jalan baru bagi para preman untuk mengenal tarbiyah dan
dakwah. Kenapa? Karena ada cita-cita dakwah dalam pernikahan mereka. Sang
mantan preman nekat ingin menikahi akhwat tangguh itu karena melihat adanya
cinta Allah dalam diri si akhwat. Ia merasa dekat dengan si akhwat adalah jalan
untuk lebih dekat dengan Allah, maka ia menikahinya. Begitu pun si akhwat, dengan
taat ia ikuti titah qiyadah untuk menikah dengan sang preman. Karena sungguh ia
punya cita-cita dakwah madal hayah.
Apapun yang dilakukannya haruslah diupaya berdampak baik untuk dakwah. Termasuk
keputusannya untuk menikah. Ia akan memilih apapun yang dampaknya dipikir-rasa
lebih baik untuk dakwah.
Memutuskan dan melakukan segala
sesuatu dengan pertimbangan dakwah sudah semestinya dilakukan para aktivis
dakwah. Manakah yang lebih Allah cintai? Manakah yang berdampak positif untuk
dakwah? Haruslah kita ingat asbabul hurut hadits pertama, jika hijrah karena
wanita ia akan mendaptkan wanita itu saja. Setiap hasil akan bergantung
niatannya. Menikah karena cinta, maka pernikahan itu akan penuh cinta. Menikah
karena keelokan wajah, karena keturunan, karena harta? Bukankah
sebaik-sebaiknya karena pertimbangan agama? Lebih khusus lagi bagi aktivis
dakwah hendaknya menikah untuk kebaikan dakwah, dengan pertimbangan dakwah,
dengan ukuran kecintaan Allah saja.
Menikah karena cinta ya silakan
saja. Tapi jangan sampai itu jadi prioritas utama. Ah, rasanya kurang tepat
jika aktivis dakwah menikah karena kesengsem status-status facebooknya, tergoda
dengan kicauan twitter-nya. Kurang bijak rasanya jika mengaku aktivis dakwah
namun masih dengan kebiasaan menge-tag nama sebagai calon pasangan hidupnya,
memberi syarat-syarat kurang syar’I dalam pengajuan proposal pernikahannya
(harus anak kedokteranlah,yang beginilah,begitulah,namanya yang inilah). Bukan
tidak boleh. Hanya saja sayang rasanya tarbiyah bertahun-tahun tapi landasan
dalam menggenapkan agama-Nya bukan karena dakwah. Rugi rasanya digodog lama
dalam dakwah tapi pernikahannya tidak memiliki misi dakwah. Jodoh itu termasuk rezeki yang telah
dituliskan Allah dalam Lauh Mahfuzh. Takkan tertukar-tukar. Hanya saja keadaan
saat bertemu dan dengan cara apa bertemu kita bisa mengupayakannya. Salim A
Fillah pernah menulis, “mau diberi Allah dengan penuh kasih atau dilemparkan
dengan murkaNya, dapatnya sama saja.”
Seperti kisah ikhwan-akhwat
pertama tadi kalau saja si ikhwan melapor pada murabbinya untuk dicarikan
akhwat sholihah sebagai istri. Tak usah sebutkan nama, tak perlu melamar
langsung, insya Allah tetap dengan akhwat tadi ia menikah. Karena Allah memang
telah tetapkan mereka sebagai jodoh. Justru dengan melapor pada murabbi sebagai
qiyadah terdekat, sang ustadz/ah bisa membantu merumuskan misi dakwah
pernikahan mereka. Tidak akan berani macam-macam insya Allah meskipun badai
menerpa biduk pernikahan. Karena tahu betul ada misi dakwah yang jauh ke depan,
sadar benar keputusan ini diambil dengan musyawarah orang-orang sholih. Tidak
seperti pernikahan berlandaskan karena cinta wajah, kedudukan, harta. Bagaimana
jika di tengah pernikahan ada orang lain yang membuat kita jatuh cinta pada
wajah, kedudukan dan hartanya? Masa iya kita seperti cerita awal tadi, bercerai
lantas menikah dengan yang membuat kita jatuh cinta? lalu jika bertemu yang
lain lagi?
Semoga kita semua menjadi kisah terakhir,
Pemuda yang senantiasa
mendekatkan diri pada Rabb-nya, berupaya sekuat tenaga menyempurnakan cinta
kepada Sang Maha Cinta, selalu menjaga hatinya. Lalu jika masanya harus
menikah, pertanyaannya bukanlah “aku mencintaimu, engkau mencintaiku, mari kita
menikah” namun alasannya menikah adalah untuk purnakan cinta kepada-Nya.
Pertimbangan dalam memilih pasangan adalah kesholihan dan debut dakwah yang
bisa dirintis bersama berlandaskan rekomendasi qiyadah. Sehingga bisa pula
mewujud keluarga di surga dengan jundi/yah dakwah yang menyertainya. Memilih
dan melakukan apa saja yang bermanfaat baik untuk dakwah. “Ya Allah, jadikan
aku, pasanganku, anak keturunanku menjadi da’i/da’iyah dalam dakwah kepadaMu,
terus berkontribusi yang terbaik untuk jamaah orang-orang yang meninggikan
kalimat-Mu.”
Ummu Ayyash