Kamis, 01 Agustus 2013

Dendam ‘Perang Arab’ di Balik Konflik Mesir dan Suriah



Setelah beberapa hari mengikuti perkembangan di Mesir, akhirnya saya memutuskan menulis tulisan ini. Dorongan itu muncul ketika banyak kalangan pro dan kontra beradu opini di berbagai media. Suatu fenomena lumrah di era keterbukaan.

Namun sayangnya ada beberapa gelintir individu maupun kelompok justru kebablasan – atau sengaja kebablasan – dalam menyajikan opini. Beberapa diantaranya cenderung melakukan serangan yang sayangnya absurd dan tak berdasar bahkan jauh dari faktual. Sebut saja saudara kita Zuhairi Misrawi, analis politik Timur Tengah dan politisi muda yang mengaku memperjuangkan prinsip demokrasi yang secara serampangan berkicau soal konflik di Mesir dalam akun twitternya.

Ada juga kandidat Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Dina Y Sulaeman dalam artikelnya Pemetaan Konflik Mesir yang dimuat oleh indonesia.irib. Salah satu tokoh yang diduga kuat berafiliasi ke Syiah tersebut latah dengan artikelnya dengan membeberkan beberapa fakta dan mitos yang juga jauh dari faktual.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah salah satu anggota kelompok pergerakan Islam yang cukup bertaji di negeri ini justru ‘mensyukuri’ kejatuhan Mursi. Dalam sebuah diskusi kecil, beliau menganggap bahwa demokrasilah biang dari hukuman Allah kepada Mursi dan pengikutnya. Sebab demokrasilah yang memaksa manusia berhukum pada hukum selain Hukum Allah. Dan sebagai akibatnya, adzab Allah turun atas mereka. Saya berharap ini hanya opini individu saja sebagai oknum dari organisasi yang menaunginya. Walau dalam beberapa kasus ada BBM yang beradar soal ini yang mengatasnamakan organisasi tersebut.

Ini hanya kasus dalam lingkup Indonesia saja. Tak terhitung tokoh Islam dan non Islam yang secara terang-terangan mendukung kudeta di Mesir. Sebut saja Raja Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, bahkan tokoh sentral Mesir sekelas syaikh di Universitas Al-Azhar Ahmad Thayyib.

Saya sendiri sebetulnya tak terlalu terkejut dengan kejadian-kejadian di atas. Sebab inilah hasil gemilang sebuah ‘Grand Design’ yang sudah dipersiapkan sejak ratusan tahun lalu. Sebuah upaya pelemahan dalam rangka penguasaan untuk memudahkan jalan menuju “Tatanan Dunia Baru” dengan Palestina sebagai pusatnya. Inilah amanat Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagai mana tercantum dalam Taurat yang disempurnakan oleh Talmud.

Usaha tersebut dimulai pada tahun 1880-an, tokoh-tokoh Yahudi Rusia mendirikan organisasi yang bernama Hibbat Zion. Kebanyakan Yahudi Rusia terkemuka ikut bergabung dalam organisasi ini. Nama penting yang ikut bergabung dengan Hibbat Zion adalah Leon Pinsker. Pada tahun 1882, Pinsker menerbitkan buku Auto-Emansipation. Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa Yahudi harus memiliki negara sendiri, dan untuk itu para pemimpin Yahudi harus berkumpul untuk membahasnya. Maka pada tahun 1884, Pinsker memimpin konferensi pertama di Kanovitz, Polandia. Konferensi kedua dilaksanakan pada tahun 1887 di Druskieniki. Dalam konferensi ini disepakati untuk menyebut gerakan sebagai Hovevei Zion. Dan Pinsker kembali terpilih untuk memimpin gerakan.

Konferensi-konferensi berikutnya segera menyusul. Dan sebagai puncaknya, pada tahun 1897, diselenggarakan Konferensi Zionisme Pertama di Basel, Swiss, di bawah pimpinan Theodore Hertzl seorang yahudi Austria. Kongres ini sebagai tindak lanjut dari doktrin-doktrin politik Theodore Herzl yang dituangkan dalam bukunya Der Judenstaat.
Prestasi dari kongres ini adalah sebuah kredo formal yang merupakan azas Nasionalisme Zionis atau Negara Israel itu sendiri yang berbunyi, ”Bahwa tujuan utama dari zionisme adalah untuk menciptakan rumah bagi bangsa yahudi di Palestina yang terjamin dengan perundang-undangan.”
Langkah pertama yang dilakukan oleh Herzl adalah mendirikan organisasi zionis yaitu The Jewish Colonial Trust (1898), The Colonisation Commision (1898), The Jewish National Fund (1901), dan The Palestine Land Development Company (1908).

Selain itu, dihasilkan pula poin-poin penting sebagai langkah jangka panjang yang termuat dalam Protokol Para Tetua Zion atau yang sering disebut Protokol Zion. Yang merupakan paparan dari 25 langkah menguasai dunia hasil dari pertemuan Sir Meyer Amschel Rotshchild dengan 12 tokoh yahudi internasional pada tahun 1773 di kediamannya di Judenstrasse, Bavaria. Protokol ini merupakan panduan kerja secara umum semacam AD/ART.

Dalam protokol inilah semua langkah-langkah kerja dirumuskan. Mulai dari menguasai pemimpin sebuah negara, menciptakan makar, adu domba, sampai ke penguasaan media massa.
Langkah selanjutnya membujuk Sultan Abdul Hamid agar mengizinkan kedatangan imigran Yahudi ke Palestina. Usaha ini gagal. Namun dengan makar, Sultan Abdul Hamid bisa ditaklukkan. Melalui tangan Mustafa Kemal Attaturk, Zionis berhasil menjinakkan sultan sekaligus menghapus Sistem Pemerintahan Khilafah.

Saat itu, yahudi sudah mulai menguasai eropa dengan kekuatan ekonomi melalui dinasti Rothschild. Dimulai oleh Meyer Amschel Rotshchild. Kemudian dilanjutkan lagi oleh kelima anaknya. Sehingga mereka hanya perlu menguatkan dan mengarahkan pengaruh yang sudah ada di Inggris dan di negara-negara Eropa itu demi meraih cita-cita mereka.

Gerakan Zionisme bersama dengan beberapa politisi penting di Inggris, termasuk A.J. Balfour dan Herbert Samuel bahu membahu dalam merealisasikan visi gerakan itu. Dan menurut Ilan Pappe, keberhasilan utama mereka adalah dalam membangun kelompok lobi yang kokoh, terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi, yang berpusat pada keluarga Rothschild. Hasilnya adalah Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour ini sebagai tonggak awal penguasaan zionis terhadap palestina. Pada tanggal 11 Desember 1917 Jenderal Allenby berhasil memasuki Kota Yuresalem dan di dalamnya masuk pula sukarelawan yahudi. Segera setelah itu, sebagai simbol kembalinya Spirit Judaisme di palestina, didirikan Hebrew University pada tanggal 24 Juli 1918 di Mount Scopus. Tempat dimana titus menaklukan Jerusalem pada tahun 69 M.

Zionis benar-benar memanfaatkan Deklarasi Balfour. Setelah Kongres Zionis Internasional pimpinan Weizmann, imigrasi yahudi ke palestina semakin digalakan. Langkah ini sebagai upaya memperkuat posisi Yishuv (komunitas yahudi di palestina). Setahun setelah kongres tersebut, jumlah yahudi di tanah palestina sudah mencapai 83.794 orang.

Meningkat pesat pada tahun 1931 yang mencapai 174.616 orang. Dan menjelang pembagian palestina oleh PBB tahun 1947, jumlah yahudi sudah mencapai 608.255 orang. Jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan penduduk asli palestina yang berjumlah 1.237.332 orang.
Jumlah masyarakat yahudi yang kian hari kian bertambah membuat mereka semakin berani. Dengan menggunakan taktik kekerasan dan teror, pada tahun 1939 mereka mengkonsolidasikan pengawasan dan penguasaan seluruh wilayah palestina dengan kekuatan diplomasi dan militer.
Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan resolusi PBB No. 181 yang membagi wilayah Palestina sebesar 54% kepada bangsa yahudi yang pada waktu itu hanya berjumlah 30% dari jumlah rakyat Palestina, dan 45% kepada bangsa arab, sedangkan 1% yaitu Al-Quds dijadikan wilayah internasional.

Resolusi mendapat protes keras dari bangsa-bangsa arab. Namun PBB tak bergeming. Akibatnya, 14 Mei 1948 secara berani dan ilegal Yahudi memproklamirkan berdirinya negara israel di tanah merdeka dan syah Palestina.

Sehari kemudian, negara baru yang ilegal tersebut diserbu oleh bangsa-bangsa arab yang tak terima dengan dijajahnya plestina. Negara itu diantaranya adalah Iraq, Suriah, Mesir, Yordania, Lebanon, dan negara arab lainnya.

Selain negara-negara tersebut, terlibat pula di dalamnya organisasi massa. Setidak ada 3 organisasi yang tergabung diantaranya:

1.       Pasukan Al-Jihad Al-Muqaddas, Adalah sebuah pasukan yang dibentuk oleh Lembaga Tinggi Arab untuk Palestina dan dipimpin oleh Abdul Qadir Al-Husaini yang tewas dalam pertempuran Al-Qasthal pada 8 April 1948. Pasukan ini terdiri dari kurang lebih 10.000 tentara dengan persenjataan yang tergolong kurang, karena para pemimpin organisasi-organisasi arab bersekongkol dengan Lembaga Tinggi Arab untuk tidak menyalurkan bantuan berupa senjata ataupun uang kepada mereka.

2.       Pasukan Al-Inqadz. Pasukan ini berdiri berdasarkan ketetapan dari Al-Jamiah–Al Arabiyah. Mayoritas pionernya adalah sukarelawan dari negara-negara arab. Jumlah sukarelawan yang terdaftar dalam pasukan ini kurang lebih adalah 10.000 orang, akan tetapi yang berhasil masuk wilayah Mesir hanya sekitar 4.630 tentara.

3.       Al-Ikhwan Al-Muslimun. Keikutsertaan Al-Ikhwan Al-Muslimun pada perang Arab-Israel tahun 1948 menjadi salah satu contoh terbaik bagi gerakan dan organisasi arab yang memperjuangkan keutuhan umat islam. Para pengikut gerakan ini bersatu dari berbagai negara seperti Mesir, Yordania dan Iraq untuk mengadakan mobilisasi masa bersar-besaran dan mengumpulkan bantuan harta benda juga senjata untuk para tentara di Palestina.

Sayang bangsa arab harus mengakui kekalahan mereka. Kekalahan dalam peperangan ini disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah kondisi militer yang belum cukup kuat dan berpengalaman serta ekonomi yang lemah. Di lain pihak bangsa yahudi mendapat bantuan dan dukungan internasional dari negara-negara yang merasa diuntungkan dengan berdirinya negara Israel. Selain itu, pihak yahudi berhasil menyusupkan beberapa utusannya untuk membuat konflik internal di tubuh bangsa arab dan mengacaukan konsentrasi mereka.

Perang akhirnya berakhir dengan ditandatanganinya gencatan senjata antara Israel dan Negara-negara arab tetangganya pada tahun 1949. Dalam perjanjian tersebut juga disepakati batas baru wilayah Negara Israel (green line) yang diakui secara internasional. Batas baru Negara Israel yang disepakati ini termasuk wilayah yang berhasil dikuasai Israel daram perang 1948 (sebagian wilayah yang tadinya diperuntukkan sebagai Negara palestina merdeka).

Pada tahun 1956, Mesir berulah. Mesir melarang kapal-kapal Israel melintasi perairan Tiran dan memblokade teluk aqaba. Tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap konvensi konstantinopel tahun 1888 dan mencederai gencatan senjata 1949 dengan Israel. Pada tanggal 26 Juli 1956 Mesir menasionalisasi terusan suez dan melarang kapal-kapal Israel melintas.

Pada tanggal 29 Oktober 1956, Israel yang merasa bahwa Mesir mencederai perjanjian 1949 dan berusaha membunuh perekonomian Israel meminta bantuan dari Inggris dan Perancis (yang sakit hati atas nasionalisasi terusan suez) untuk mengeroyok Mesir. Dalam konflik terusan suez ini Israel berhasil menduduki Gaza (yang dalam perjanjian 49 merupakan wilayah Mesir) dan Sinai.

PBB dan Amerika Serikat turun tangan untuk menghentikan konflik yang terjadi. Israel bersedia mundur dari wilayah Mesir yang baru diduduki. Mesir mengijinkan kembali kapal-kapal Israel melintasi terusan suez dan membuka blokade aqaba serta melakukan demiliterisasi di wilayah Sinai. Pasukan internasional PBB dengan nama UNEF dibentuk untuk mengawasi wilayah demiliterisasi.

Namun pada tahun 1967, lagi-lagi mesir berulah. Mesir mengusir pasukan internasional dan menggelar 100.000 pasukan di semenanjung Sinai serta kembali melakukan blokade dan pelarangan atas kapal-kapal Israel untuk melintasi Tiran straits. Mesir mengembalikan keadaan seperti tahun 1956 ketika Israel diblokade.

Tahun 1966-1967 pemimpin Mesir Gamal Abd Nasser melakukan kampanye mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada 30 Mei 1967 Jordan masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria. Dengan persenjataan modern dari Soviet, Mesir melakukan mobilisasi pasukan di Sinai dan melintasi batas demiliterisasi yang disepakati (setelah mengusir pasukan PBB) dan mendekati perbatasan selatan Israel.

Dalam perang yang terkenal dengan sebutan perang enam hari tersebut Israel berhasil mengalahkan negara-negara arab tetangganya yang mengepungnya. Ketika perang berakhir, Israel berhasil menguasai West Bank dan Jerusalem timur (yang tadinya dikuasai Jordan) serta Gaza dan Sinai (yang dikuasai Mesir) dan dataran tinggi Golan.

Pada tahun 1969 mesir kembali memulai perang dengan tujuan melemahkan kekuatan Israel di Sinai. Namun perang ini berakhir dengan kematian Nasser.
Pada 6 Oktober 1973 Mesir dibawah pemimpin baru Anwar Sadat dan Syria melakukan serangan mendadak dan berhasil mengalahkan Israel. Mesir berhasil menguasai kembali sinai yang sempat dicaplok Israel.

Ketika pasukan Mesir hendak masuk Israel, Israel meminta bantuan dari Amerika Serikat (meskipun sejak awal Amerika Serikat merupakan backing kekuatan Israel). Soviet yang menjadi backing kekuatan Mesir mengancam akan melakukan intervensi militer jika Amerika terlibat. Karena khawatir akan terjadinya perang nuklir, Amerika Serikat akhirnya memprakarsai gencatan senjata pada 25 Oktober 1973.

Pada bulan Maret 1979 Mesir dan Israel akhirnya melakukan perjanjian damai. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa Sinai kembali menjadi wilayah kekuasaan Mesir, adapun Gaza tetap berada dibawah kontrol Israel dan masuk dalam rencana masa depan Palestina. Pada bulan Oktober 1994, Jordan juga akhirnya melakukan perjanjian damai dengan Israel. Mesir dan Jordan menjadi dua Negara arab yang mengakui eksistensi Negara Israel dan memiliki hubungan diplomatik dengannya.
Rangkaian perang beruntun ini jelas telah menghabiskan banyak energi bagi Israel dalam rangka mempertahankan eksistensinya di Palestina. Oleh karennya, harus ada tindakan preventif untuk mencegah perang terulang.

Satu-satunya jalan adalah menghancurkan benih-benih perlawanan sebelum mereka terlanjur besar.
Ketika mesir kehilangan tokoh yang bisa diajak berkompromi dengan israel dan muncul kekuatan baru yang dipolopori Ikhwanul Muslimin, muncul kekhawatiran israel. Mengingat sejarah berbicara bagaimana mesir begitu sering mengusik eksistensi israel di Palestina. Terlebih yang duduk di pucuk pimpinan Mesir adalah seorang hafidz Al-Qur’an yang berafiliasi langsung dengan Ikwanul Muslimin.
Sejarah juga mencatat bagaimana gencarnya Ikhwanul Muslimin melakukan perlawanan. Di setiap perang arab, Ikhwanul Muslimin selalu berperan serta. Inilah mengapa sebelum Mursi memegang tampuk pimpinan Ikhwanul Muslimin selalu dipersulit. Bahkan Presiden Gamal Abdel Nassar di tahun 1954 telah mencoba menghancurkan Ikhwanul Muslimin. Ia juga memenjarakan ribuan anggota Ikhwanul Muslimin. Dan ini tak lepas dari lobi Israel di Mesir.

Kekuatan massif Ikhwanul Muslimin menjadi momok menakutkan bagi israel. Terlebih kebijakan-kebijakan Mursi yang sangat tidak populer di mata Israel. Mursi berani menghilangkan ketergantungan atas bantuan militer AS yang kemudian berinteraksi dengan Rusia dan Jerman. Hasilnya, dalam dua bulan saja telah dikirim dua kapal selam tercanggih dari Jerman. Langkah ini diprotes keras oleh Israel.
Selain itu, Mursi juga melakukan revitalisasi Terusan Suez. Ia mengganti direksi yang mengelola Pelabuhan Suez yang di era Mubarak menghasilkan pemasukan sebanyak 5,6 miliar dolar AS per tahun. Mursi menargetkan Suez sebagai hub ekonomi global dengan penghasilan meningkat 100 miliar dolar AS per tahun. Akibatnya mengancam perdagangan di Dubai dan Kuwait.

Politik cerdas Mursi dicermati betul oleh PM Israel Benyamin Netanyahu. Menurutnya, “Sikap Mursi jauh lebih berbahaya daripada nuklir Iran”. Sementara itu pemerintah AS memuji inisiatif Mursi memfasilitasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel, hingga terbukanya perbatasan Rafah mengakhiri blokade Jalur Gaza.

Karena itulah maka mau tidak mau Mesir harus dihancurkan! Ia harus menyusul Iraq, Afganistan, Suriah, dan negara-negara arab lainnya. Karena bagaimanapun, Mesir tidak bisa diajak kompromi selagi Mursi masih membawa-bawa Ikhwanul Muslimin dalam setiap sikap politiknya. Setidaknya mayoritas Ikhwanul Muslimin dan warga mesir mendukungnya.

Demikian halnya dengan suriah. Dendam kesumat israel begitu membuncah pada Masir dan Suriah. Maka keduanya harus diporakporandakan. Di Mesir, tidak ada golongan yang bisa dipuci untuk konflik. Tidak demikian di Suriah. Sejak awal Sunni dan Syi’ah memang tidak pernah menyatu. Maka israel melihat ini sebuah peluang. Dipantiklah konflik antara kedua golongan ini. Hasilnya? Suriah berdarah-darah sekarang.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari masalah ini adalah: siapa saja yang berani mengusik eksistensi israel di Palestina, maka bersiaplah mendapat hukuman.
Kita hanya bisa berharap pada Allah. Selain itu, NO WAY. Isi Protokol Zion sudah benar-benar dijalankan dengan sempurna. Saat ini hampir tidak ada lagi sendi yang tidak berafiliasi ke israel.
Tapi bukan tidak mungkin. Masih ada di kolong bumi ini yang masih memegang teguh Islam. Buktinya masih ada kelompok dan individu yang berani menyuarakan perlawanan pada hegemoni yahudi.


Semoga kita satu diantaranya. Amiin…
Abu Azizah <azizahazmin@gmail.com>/ERAMUSLIM.COM