QOWA’IDUD DA’WAH ILALLAH;
BERDAKWAH DENGAN CINTA KERJA HARMONI
Judul Buku :
Qowa’idud Da’wah Ilallah
Penulis : Dr.
Hammam Abdurrahim Said
Penerbit : Era
Adicitra Intermedia, Solo
Ukuran Buku : 14.5
x 20.5
Tebal Buku : 344
Halaman
Berdakwah itu menabur cinta, karena ketika berdakwah,
seorang dai mengupayakan keselamatan umat manusia dari api neraka. Dai
menawarkan surga sebagai hadiah kepada orang-orang di sekelilingnya dan
menunjukkan mereka jalan menuju bahagia. Semua ini dilakukan dengan tulus
ikhlas tanpa mengharap balasan. Bahkan memang tidak boleh ada imbalan. “Hai
kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku.
Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Hûd: 29). (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 149)
Itulah cinta sejati. Tidak ada cinta yang lebih murni
dari kecintaan seorang dai terhadap mad’unya seperti ini. Tidak ada ketulusan
yang lebih tinggi dari ketulusan seorang dai terhadap dakwahnya seperti ini.
Tidak ada. Bahkan berdakwah merupakan manifestasi tertinggi dari ibadah, yang
wujudnya, sebagaimana disampaikan oleh Ar-Razi adalah mengagungkan perintah
Allah dan berbelas kasih terhadap makhluk-Nya. (Qowâ’idud Da’wah Ilallâh, h. 3
)
Karena semua demi cinta maka segala aktivitas dakwah
menjadi terasa ringan. Dan karena semua berlandaskan cinta maka kerja-kerja
dakwah membahagiakan. Sesibuk apa pun seorang dai dengan dakwahnya, ia akan tetap
bekerja dengan senang dan gembira. Kerja dakwah tidak sebagaimana yang disangka
oleh banyak orang; yang penuh dengan kesulitan, kepayahan, kerugian, dan rasa
sakit. Dakwah adalah sesuatu yang enak dirasakan dan nyaman di hati. Untuk itu,
para dai rela mengorbankan sesuatu yang berharga dari miliknya di jalan dakwah.
Mereka rela menahan ujian dan godaan demi dakwah. Mereka menjadi orang yang
paling bahagia dengan dakwah di jalan-Nya. (Qowa’idud Da’wah Ilallah, h. 8).
Saat kerja dibalut cinta, segalanya terasa indah dan
penuh semangat. Dan agar cinta itu dapat tersampaikan kepada sebanyak-banyak
orang, maka dibutuhkan kerja-kerja dakwah yang harmoni. Untuk itu, dibutuhkan
kaidah-kaidah yang mengaturnya. Ada aturan mainnya. Jadi, dakwah tidak bisa
berjalan serampangan. Seorang dai yang bijak tidak asal mengatakan semua yang
diketahuinya kepada semua orang yang dikenalnya. Seorang dai yang bijak harus
mempertimbangkan kadar kemampuan pikiran mad’u dan tidak boleh membebaninya di
luar batas kemampuan mereka. Titik kesimpulannya, dakwah membutuhkan
kaidah-kaidah yang mengaturnya, agar menjadi dakwah muntijah; dakwah yang
kebaikannya bisa dirasakan oleh sebanyak mungkin orang sebagai wujud Islam yang
rahmatan lil alamin.
Buku Qowâ'idud Da'wah Ilallâh ini berisi kaidah-kaidah
dasar dalam berdakwah yang harus diperhatikan oleh dai dan aktivis dakwah.
Ditulis oleh Al-Ustadz Hammam Abdurrahim Sa’id secara lugas dan memikat untuk
para aktivis dakwah, agar kerja-kerja dakwah semakin terarah.
Wahai para dai, Sesungguhnya orang yang mendapatkan
petunjuk dengan tanganmu laksana batu bata yang dicopot dari bangunan jahiliyah
dan diletakkan pada bangunan Islam. Ia merupakan kerugian bagi kekafiran,
kesesatan, bagi setan, dan kawan-kawannya; tapi keuntungan bagi Islam dan pemeluknya.
Setiap kali ada orang yang mendapat petunjuk, berarti satu sendi bangunan
jahiliyah telah runtuh.
Demikian inilah yang terjadi pada masyarakat jahiliyah
di Mekkah. Setiap pagi mereka membicarakan orang-orang yang keluar dari
kepercayaan mereka, sedangkan kaum muslimin bergembira dengan semakin
bertambahnya orang yang mendapat petunjuk dan beriman. Seolah-olah bangunan
kekafiran setiap hari rontok, dan batunya satu per satu copot hingga membentuk
lubang demi lubang. (Qowa’idud Da’wah Ilallah, h. 18)
Selamat berdakwah dengan cinta, kerja, dan harmoni. Apa
pun kata orang, dakwah harus tetap jalan.
(pkspiyungan.org)