Sabtu, 11 Mei 2013

"Suara Cinta dari Istana" Bersama @AnisMatta, @HNurwahid, @MahfudzSiddiq, dan @FahriHamzah

Keempat orang itu belum menjadi presiden (meski diam-diam banyak orang mendoakannya). Mereka juga belum resmi menjadi calon presiden. Tapi demikianlah informasinya, keempat orang "politisi cinta" itu akan berbicara dari kompleks istana. Namun istana yang saya maksud bukan istana kepresidenan, melainkan istana khalifah! Lebih tepatnya Istana Topkapi, pada sore ini, pukul 15.00 - 17.00 WIB nanti.

Anda tidak salah kalau lebih kenal Gedung Putih daripada Istana Topkapi. Kalau anda salah, berarti saya juga harus mempersalahkan diri sendiri. Mungkin saya yang keliru karena setengah-setengah membaca peta. Gara-gara produk budaya yang jor-joran, begitulah Amerika terlanjur lebih mendominasi, mengisi peta pikir dan perasaan kebanyakan kita.

Tapi marilah di hari libur kita sedikit lembur. Dengan bantuan mesin pencari, sedikit menelusur. Ternyata Istana Topkapi atau Topkapı Sarayı berada di kota Istanbul, Turki. Kalau kini anda sedang di Jakarta, lalu menengok kira-kira ke arah Barat Laut, maka di depan mata anda, dalam jarak kira-kira 9.445 kilometer jauhnya, tersebutlah sebuah negeri bernama Turki. Negeri ini sebelumnya dilanda bencana perebutan kekuasaan. Penguasa-penguasanya pun dikenal korup. Panglima perang silih berganti merebut tahta dari rakyat. Tapi selama satu dekade terakhir, muncullah kekuatan kebaikan yang ternyata dinanti, dirindu, dan memang terbukti dipilih oleh rakyat.

Dari pemilu ke pemilu kekuatan itu semakin besar, seiring kerja nyata yang ditorehkannya membangun Turki. Di Turkilah pariwisata bisa maju dan mendunia, tanpa tergantung kepada tersedia atau tidaknya minuman keras bagi para turis. Di Turkilah pertumbuhan ekonomi melesat, bukan sekadar tumbuh, tapi juga berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat. Di Turkilah pemerintahan yang bersih dan berwibawa mewujud dan menguat.

Perdana Menterinya tiba-tiba bisa menghentak dunia lewat aksinya "memberi pelajaran" kepada pemimpin arogan Zionis Israel, dalam sebuah forum bergengsi tingkat dunia. Tapi ia jugalah pemimpin yang bisa mengetuk pintu rumah rakyat biasa, bertamu bercengkrama dan makan bersama mereka, hingga pulang meninggalkan bungkusan bekal serta kenangan cinta. Menteri Luar Negerinya tiba-tiba bisa berada di tengah Jalur Gaza yang sedang dibombardir Zionis Israel, lalu beberapa waktu kemudian ia hadir di tengah warga Rohingya di Asia Tenggara seraya memeluk saudara muslim dan tak kuasa menahan tetesan air mata meihat penderitaan mereka dizalimi genosida oleh warga dan dibiarkan pemerintah Burma.

Sedangkan Presidennya, baru sepekan lalu (19/4), disambut hangat oleh massa rakyat yang tumpah ruah di provinsi Mus dan provinsi Bingol, di bagian timur Turki. Itulah kunjungan pertama seorang pejabat Presiden Turki selama 29 tahun terakhir ke Provinsi Mus, dan 19 tahun terakhir ke Provinsi Bingol. Istimewa karena kedua provinsi tersebut dihuni oleh banyak populasi Suku Kurdi yang telah lama terlibat konflik dengan pemerintah Turki. Sambutan itu tentulah bukti adanya kemajuan dalam usaha harmonisasi, upaya damai, solusi tuntas, yang dilakukan Sang Presiden.

Cukup tentang Turki. Keempat orang itu tentu lebih mengetahuinya. Dan kita lebih mengetahui lagi, bahwa mereka berempat punya kapasitas untuk mengikuti jejak para pemimpin Turki tadi. Atau kalaupun ragu, kita masih bisa berdoa agar keempat orang itu dikuatkan oleh Yang Maha Kuasa agar menjadi pemimpin bangsa yang mencintai-Nya, dicintai-Nya, mencintai rakyat, dan dicintai rakyat.

Yang sepatutnya menarik justru kisi-kisi dari moderator acara, @AryaSandhiyudha, seorang kandidat doktor di universitas yang namanya dinisbahkan kepada Sang Penakluk Konstantinople 1453, Muhammad Al-Fatith. Arya menempuh pendidikan doktoral, setelah mengenyam pendidikan sarjana di Universitas Indonesia,serta menyelesaikan pendidikan pascasarjananya di Singapura, di sekolah yang menisbahkan namanya kepada Penulis Ikrar Kebangsaan Singapura sekaligus Pendiri ASEAN, S Rajaratnam.

Arya mengutarakan kembali kutipan Anis Matta di lini massanya. Bahwa partai bernomor urutan 3 tersebut dalam misi internasionalnya membawa 3 hal, yaitu Global Democracy, Global Prosperity, dan Global Peace.  Bagi siapapun yang meminati pemikiran Bung Karno, ketiga misi tadi seakan mengingatkan kepada Trisila. Tiga sila yang berisi perasan saripati Pancasila itu mencakup: Socio-democracy, Socio-nasionalisme, dan Ketuhanan. Mengapa bisa demikian? Apakah dengan demikian Anis Matta sedang menjiplak? Ataukah ia malah layak disebut apresiator cemerlang buah pikir Bung Karno? Jawabannya harus kita tunda.

Sekarang ialah waktunya menonton PKS TV, disiarkan langsung dari Istana yang dibangun tahun 1459 atas perintah Sultan Mehmed II aka Muhammad Al-Fatih. Mari kita seksamai, apa yang akan dikemukakan oleh Presiden PKS Anis Matta, Ketua Fraksi PKS DPR RI Hidayat Nurwahid, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, dan Anggota Komisi III DPR RI Fahri Hamzah. Seperti apakah suara RuhBaruIndonesia itu akan bergema. Semoga dengan semangat "beyond politics" dan "beyond imagination", aura kemenangan itu memancar dari bumi Al-Fatih. Sebab lima abad ialah waktu yang terlalu panjang untuk menanti kebangkitan.

oleh Marhaen Natsir
www.islamedia.web.id