Keempat orang itu belum menjadi presiden (meski diam-diam banyak orang
mendoakannya). Mereka juga belum resmi menjadi calon presiden. Tapi
demikianlah informasinya, keempat orang "politisi cinta" itu akan
berbicara dari kompleks istana. Namun istana yang saya maksud bukan
istana kepresidenan, melainkan istana khalifah! Lebih tepatnya Istana
Topkapi, pada sore ini, pukul 15.00 - 17.00 WIB nanti.
Anda tidak salah kalau lebih kenal Gedung Putih daripada Istana Topkapi.
Kalau anda salah, berarti saya juga harus mempersalahkan diri sendiri.
Mungkin saya yang keliru karena setengah-setengah membaca peta.
Gara-gara produk budaya yang jor-joran, begitulah Amerika terlanjur
lebih mendominasi, mengisi peta pikir dan perasaan kebanyakan kita.
Tapi marilah di hari libur kita sedikit lembur. Dengan bantuan mesin
pencari, sedikit menelusur. Ternyata Istana Topkapi atau Topkapı Sarayı
berada di kota Istanbul, Turki. Kalau kini anda sedang di Jakarta, lalu
menengok kira-kira ke arah Barat Laut, maka di depan mata anda, dalam
jarak kira-kira 9.445 kilometer jauhnya, tersebutlah sebuah negeri
bernama Turki. Negeri ini sebelumnya dilanda bencana perebutan
kekuasaan. Penguasa-penguasanya pun dikenal korup. Panglima perang silih
berganti merebut tahta dari rakyat. Tapi selama satu dekade terakhir,
muncullah kekuatan kebaikan yang ternyata dinanti, dirindu, dan memang
terbukti dipilih oleh rakyat.
Dari pemilu ke pemilu kekuatan itu semakin besar, seiring kerja nyata
yang ditorehkannya membangun Turki. Di Turkilah pariwisata bisa maju dan
mendunia, tanpa tergantung kepada tersedia atau tidaknya minuman keras
bagi para turis. Di Turkilah pertumbuhan ekonomi melesat, bukan sekadar
tumbuh, tapi juga berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat. Di Turkilah
pemerintahan yang bersih dan berwibawa mewujud dan menguat.
Perdana Menterinya tiba-tiba bisa menghentak dunia lewat aksinya
"memberi pelajaran" kepada pemimpin arogan Zionis Israel, dalam sebuah
forum bergengsi tingkat dunia. Tapi ia jugalah pemimpin yang bisa
mengetuk pintu rumah rakyat biasa, bertamu bercengkrama dan makan
bersama mereka, hingga pulang meninggalkan bungkusan bekal serta
kenangan cinta. Menteri Luar Negerinya tiba-tiba bisa berada di tengah
Jalur Gaza yang sedang dibombardir Zionis Israel, lalu beberapa waktu
kemudian ia hadir di tengah warga Rohingya di Asia Tenggara seraya
memeluk saudara muslim dan tak kuasa menahan tetesan air mata meihat
penderitaan mereka dizalimi genosida oleh warga dan dibiarkan pemerintah
Burma.
Sedangkan Presidennya, baru sepekan lalu (19/4), disambut hangat oleh
massa rakyat yang tumpah ruah di provinsi Mus dan provinsi Bingol, di
bagian timur Turki. Itulah kunjungan pertama seorang pejabat Presiden
Turki selama 29 tahun terakhir ke Provinsi Mus, dan 19 tahun terakhir ke
Provinsi Bingol. Istimewa karena kedua provinsi tersebut dihuni oleh
banyak populasi Suku Kurdi yang telah lama terlibat konflik dengan
pemerintah Turki. Sambutan itu tentulah bukti adanya kemajuan dalam
usaha harmonisasi, upaya damai, solusi tuntas, yang dilakukan Sang
Presiden.
Cukup tentang Turki. Keempat orang itu tentu lebih mengetahuinya. Dan
kita lebih mengetahui lagi, bahwa mereka berempat punya kapasitas untuk
mengikuti jejak para pemimpin Turki tadi. Atau kalaupun ragu, kita masih
bisa berdoa agar keempat orang itu dikuatkan oleh Yang Maha Kuasa agar
menjadi pemimpin bangsa yang mencintai-Nya, dicintai-Nya, mencintai
rakyat, dan dicintai rakyat.
Yang sepatutnya menarik justru kisi-kisi dari moderator acara,
@AryaSandhiyudha, seorang kandidat doktor di universitas yang namanya
dinisbahkan kepada Sang Penakluk Konstantinople 1453, Muhammad
Al-Fatith. Arya menempuh pendidikan doktoral, setelah mengenyam
pendidikan sarjana di Universitas Indonesia,serta menyelesaikan
pendidikan pascasarjananya di Singapura, di sekolah yang menisbahkan
namanya kepada Penulis Ikrar Kebangsaan Singapura sekaligus Pendiri
ASEAN, S Rajaratnam.
Arya mengutarakan kembali kutipan Anis Matta di lini massanya. Bahwa
partai bernomor urutan 3 tersebut dalam misi internasionalnya membawa 3
hal, yaitu Global Democracy, Global Prosperity, dan Global Peace.
Bagi siapapun yang meminati pemikiran Bung Karno, ketiga misi tadi
seakan mengingatkan kepada Trisila. Tiga sila yang berisi perasan
saripati Pancasila itu mencakup: Socio-democracy, Socio-nasionalisme,
dan Ketuhanan. Mengapa bisa demikian? Apakah dengan demikian Anis Matta
sedang menjiplak? Ataukah ia malah layak disebut apresiator cemerlang
buah pikir Bung Karno? Jawabannya harus kita tunda.
Sekarang ialah waktunya menonton PKS TV,
disiarkan langsung dari Istana yang dibangun tahun 1459 atas perintah
Sultan Mehmed II aka Muhammad Al-Fatih. Mari kita seksamai, apa yang
akan dikemukakan oleh Presiden PKS Anis Matta, Ketua Fraksi PKS DPR RI
Hidayat Nurwahid, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, dan Anggota
Komisi III DPR RI Fahri Hamzah. Seperti apakah suara RuhBaruIndonesia
itu akan bergema. Semoga dengan semangat "beyond politics" dan "beyond imagination", aura kemenangan itu memancar dari bumi Al-Fatih. Sebab lima abad ialah waktu yang terlalu panjang untuk menanti kebangkitan.
oleh Marhaen Natsir
www.islamedia.web.id