PKS boleh kalah telak dan babak belur dihantam pemberitaan media. Tapi
di lapangan, faktanya bicara lain. Tetap saja kepercayaan kepada orang
tak mudah lekang. Di tengah tendensi miring akibat propaganda sejumlah
media, memang tak sedikit orang yang terhasut untuk menghakimi dan
memvonis PKS. Namun ternyata masih lebih banyak lagi yang tetap percaya
dan menaruh simpati pada partai Islam terbesar di tanah air ini.
Sebabnya sederhana. Mereka terpesona dan jatuh cinta pada perangai teman
kerja mereka, tetangga mereka atau kerabat keluarga mereka yang
ternyata terbina di PKS. Mereka tahu bahwa di kantornya, yang dikenal
idealis, betul-betul bersikap bersih dan jujur ya “orang-orang PKS”.
Yang menolak duit yang bukan haknya, yang syubhat apalagi haram, ya
“orang PKS”. Yang di sela waktu senggangnya tak lupa membaca Qu’ran
mungilnya. Yang di tengah kesibukan, menyempatkan diri melazimkan dhuha.
Yang selalu teguh menjaga shalat jamaahnya, dari subuh sampai ke isya.
Meski yang demikian bukan cuma “orang PKS” saja, namun dalam benak
banyak orang, yang tipikalnya begituan ya “orang PKS”.
Dalam beberapa diskusi, sejumlah teman – yang jelas-jelas bukan kader
PKS- mengatakan, “Di kantorku itu, yang jelas kelihatan orang baik dan
bersih itu ya kader PKS. Sepeser pun mereka nggak mau terima ‘uang nggak
jelas’. Makanya nggak mungkinlah guru mereka begitu. ” Yang lain
mengatakan, “Ah, belum tentu PKS yang salah, dari awal aja udah banyak
kejanggalan.” Seorang yang lain menimpali, “Iya, kalau giliran LHI,
cepat KPK menahan walaupun bukan tertangkap tangan, sementara Andi sama
Anas udah sama-sama tersangka masih melenggang bebas. Century malah
nggak selesai-selesai. Entah sudah berapa tahun.”
Begitulah pendapat rakyat awam yang jauh dari hingar-bingar keriuhan
politik. Rupanya kebanyakan teman juga tak serta merta “mengimani”
ayat-ayat TV One, Metro TV atau Majalah Tempo. Mayoritas mereka juga tak
mengamini komentar sebagian pengamat politik yang mengatakan pamor PKS
akan lekas runtuh dan terjun bebas. Mereka malah secara arif dan bijak
mengatakan, “Belum tentu PKS jatuh. Kalau nanti LHI terbukti nggak
bersalah, semakin mantaplah citra PKS. Tapi memang kalau terbukti,
secara citra, habislah PKS.”
Makanya dari bincang-bincang awam itu, saya dan teman-teman bersepakat
bahwa proses hukum harus berjalan. KPK menyita, menahan atau melakukan
tindakan hukum apapun, haruslah kita dukung. Apalagi PKS sudah menyambut
kedatangan tim penyidik KPK, lengkap dengan spanduk selamat datang.
Syaratnya sederhana: datanglah sesuai hukum dan akhlak mulia. Bawa kartu
identitas dan surat perintah penyitaan. Setelah itu tak ada lagi yang
perlu diperdebatkan.
Akan tetapi, semua ini terkesan begitu besar. PKS dihasut untuk
“dikesankan” memusuhi KPK. Tim KPK pun dihasut untuk “dikesankan”
mengobok-obok partai dakwah itu. Judul berita di televisi, koran dan
media online kian lebay. KPK Versus PKS. PKS Melawan KPK. Konflik KPK
dan PKS. Padahal, kalaupun ada, yang bersitegang adalah DPP PKS dengan
oknum KPK, dalam hal ini Juru Bicaranya, Johan Budi yang bukan sarjana
hukum, mantan jurnalis Tempo, yang dianggap kerap berbohong dalam
statement-statementnya untuk mencemarkan nama baik PKS.
Dari awal juga, PKS tak punya niat melindungi atau membela mati-matian
LHI. Kader-kader PKS dilarang bicara mengenai kasus LHI, kecuali yang
resmi diungkapkan oleh tim kuasa hukum LHI sendiri. Jadi, wajar saya
kira ketika Fahri Hamzah, Wasekjen PKS yang aktivis reformasi ’98 dan
pendiri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) itu mengatakan
bahwa PKS harus melawan totalitarianisme ketika KPK melakukan
“festivalisasi pemberantasan korupsi”.
Apalagi melihat media mati-matian mengekor pernyataan Johan Budi. Lalu
muncullah stigma PKS melemahkan KPK. PKS melakukan kriminalisasi kepada
KPK. Sampai Tempo bela-belain membuat survey partai apa yang “dianggap”
terkorup. Dan tebak hasilnya, bersama Demokrat, PKS menjadi juara.
Bukankah sangat aneh, predikat terkorup berdasarkan “anggapan publik”
yang sesungguhnya anggapan publik itu mereka kontruksi melalui
penggiringan opini dalam berita-beritanya? Padahal faktanya, kader PKS
sampai hari ini belum ada yang diputuskan bersalah menjadi terpidana
korupsi. Sementara juara asli kompetisi korupsi, Partai Golkar
berdasarkan survey malah dianggap relatif bersih dan elektabilitasnya
meningkat. Pembodohan macam apa ini?
Teman saya yang sudah menonton film dokumenter “Di Balik Frekuensi”
menyatakan maklum saja kalau media kita begitu. Karena telah terjadi
oligarki pada pilar keempat demokrasi ini. Di tv merah, tak dikenal
istilah lumpur Lapindo, yang ada hanya lumpur Sidoarjo. Sementara di tv
biru, bicara kebebasan bersuara hanya ada pada iklan-iklan suci
restorasi. Masing-masingnya punya jagoan masing-masing. “Kalau Tempo,
entah sudah berapa edisi lagi yang disiapkan untuk tema khusus membahas
PKS,” ujarnya suatu kali.
Makanya, KPK harus bekerja lebih cepat, putuskan segera status LHI itu.
Memang maling atau bukan. Kalau kasus ini diulur-ulur, terus terang kita
harus maklum kalau ada yang menyebut kasus ini penuh dengan nuansa
politis. Apalagi kalau baru dikhatamkan pasca Pemilu 2014.
Solusinya sebenarnya tak rumit-rumit amat. KPK bekerjalah yang jujur,
objektif dan tanpa intervensi. Tajamkan lagi ujung tombakmu. Jangan
hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Sementara PKS, bila nanti LHI
terbukti bersalah, introspeksi dirilah. Lakukan evaluasi dan taubat.
Karena sebaik-baik orang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat.
Yang dikhawatirkan oleh publik, peristiwa ini adalah politik devide et
impera gaya penjajah Belanda. Konspirasi untuk membelah Indonesia, untuk
meruntuhkan pejuang anti korupsi Indonesia. Mau tidak mau, perseteruan
yang diciptakan ini akan menjatuhkan KPK dan PKS secara bersamaan.
Sampai-sampai lembaga –yang mengaku anti korupsi tapi menolak hukuman
mati untuk koruptor- Indonesia Corruption Watch (ICW) yang berlambang
mata satu ala Dajjal dan penerima suntikan dana asing dari Bloomberg itu
mengancam akan membubarkan PKS.
Selama ini, KPK adalah harapan seluruh rakyat untuk memberantas korupsi
seantero negeri. Sejauh itu pula, PKS menjadi harapan yang tersisa untuk
perbaikan pengelolaan negeri ini. PKS adalah partai yang paling banyak
melaporkan penerimaan gratifikasi ke KPK. PKS pula yang dikenal paling
getol menolak suap. “Meskipun nggak sempurna, mendinganlah pilih PKS
daripada yang lain,“ teman yang lain berpendapat di kesempatan berbeda.
Opini publik akan digiring pada pesimisme perbaikan. Pilihannya ada dua.
Satu, KPK ternyata sama saja dengan penegak hukum lain seperti
Kepolisian dan Kejaksaan yang mudah goyah oleh godaan dunia. “Ah, tidak
ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini. Hukum menjadi tumpul ketika
bertemu kekuasaan.” Dua, PKS itu munafik. Sama saja dengan partai lain.
Bedanya dia membawa-bawa jargon agama. Kedua pilihan ini sesungguhnya
adalah duka bagi bangsa Indonesia.
Maka, di luar sana, jauh dari keriuhan ini, ada yang bertepuk tangan,
berpesta pora sambil mengisap cerutu kapitalismenya. Di luar sana,
koruptor sejati tersenyum bahagia melihat lawan mereka saling serang
satu sama lain. “Haha, Indonesia tetap dalam genggamanku. Merdeka!”
Abu Fatih Ar-Rantisi
islamedia.web.id