Tatkala Utsman bin ‘Affan menjadi Khalifah Rasul yang ketiga,
menggantikan posisi Amirul Mukminin Umar bin Al Khathab yang syahid di
tangan kafir Majusi. Kala itu ia memutuskan untuk menikah yang kesekian
kalinya. Usianya memang tidak muda dan bahkan sudah sangat terbilang
tua. Saat itu, ia telah berusia sekitar delapan puluh tahun. Rambutnya
telah memutih dan kekuatan jasadnya tidak lagi seperti pemuda.
Dan yang lebih mencengangkan adalah bahwa ia menikahi seorang gadis
belia yang baru mekar. Usianya baru delapan belas tahun tatkala
pernikahan itu terjadi. Namanya adalah Nailah binti Al Qurafashah atau
Nailah binti Al Farafishah Al Kalbiyah, seorang gadis cantik dari negeri
Syam. Bukan hal mudah bagi keduanya untuk saling membersamai dalam
singgasana pernikahan mengingat usia mereka yang terpaut sangat jauh,
delapan puluh dan delapan belas. Namun, keduanya telah memutuskan untuk
mencintai.
“Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang
kamu temui di sini,” kata Utsman tatkala pertama kali menyambut Nailah.
“Apakah engkau tak keberatan menikah dengan seorang pria tua bangka?”
“Aku termasuk perempuan yang lebih suka memiliki suami yang lebih
tua,” jawab Nailah sambil tertunduk. Rasa malu menggelayuti hatinya.
“Namun, aku telah jauh melampui ketuaanku,” kata Utsman kembali. Ia
seakan menguji kesungguhan keputusan gadis cantik yang mau dinikahinya
itu, menelisik kesungguhan keputusannya untuk mencintai lelaki tua
seperti dirinya.
“Tapi masa mudamu sudah kau habiskan bersama Rasulullah,” jawab
Nailah sambil tersenyum, “Dan itu jauh aku lebih sukai dari
segala-galanya.”
Selanjutnya Utsman dan Nailah hanya memberikan bukti atas keputusan
mereka bersekutu dalam ikatan pernikahan itu. Utsman mencintai Nailah
dan Nailah pun mencintai Utsman. Keduanya merupakan para pecinta sejati
yang senantiasa melaksanakan pekerjaan-pekerjaan cinta bagi orang yang
dicintainya. Maka, keduanya saling memberi, saling memperhatikan, saling
menumbuhkan, saling merawat, dan saling melindungi.
Nailah yang disirami kerja cinta dari sang suami pun tumbuh dan
semakin mekar. Ia menjadi salah satu perempuan yang pandai bertutur kata
dan sangat menguasai sastra. “Saya tidak menemui seorang wanita yang
lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia
mengalahkan akalku,” kata Utsman suatu ketika mengenai Nailah. Darinya,
Utsman memperoleh putri bernama Maryam dan Anbasah.
Sejarah membuktikan kejujuran cinta mereka. DR. Sa’id bin ‘Abdul ‘Azhim menceritakan untuk kita dalam Mu’asyarah bil Ma’ruf bukti
kerja cinta mereka. Tatkala para pemberontak mendatangi Khalifah Utsman
bin ‘Affan di rumahnya untuk membunuhnya, bangkitlah istri yang
dicintai dan mencintainya itu, Nailah binti Al Qurafashah, dengan
membiarkan rambutnya terurai, seakan-akan dia bersiasat dengan berusaha
menggoda sifat kejantanan para pemberontak tersebut. Spontan Utsman
berteriak dan membentaknya, seraya mengatakan, “Ambillah kerudungmu!
Demi umurmu, kedatangan mereka lebih ringan bagiku daripada kehormatan
rambutmu.”
Ketika salah seorang pemberontak masuk ke dalam rumah dan membabat
Utsman yang sedang membaca mushaf Al Qur’an hingga darahnya menetes ke
mushaf itu, Nailah tidak tinggal diam. Seorang pemberontak lain yang
menerobos masuk dicegah oleh Nailah dan merebut pedang yang dibawa si
pemberontak itu. Namun, pemberontak itu dapat merebut pedangnya kembali.
Ia menebaskan pedangnya dan memotong jari-jemari lentik Nailah yang
melindungi sang suami. Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Nailah
menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Utsman untuk melindungi tubuh sang
suami dari sabetan pedang para pemberontak hingga jarinya tertebas.
Para pecinta sejati memang senantiasa memberikan perlindungan yang
terbaik bagi orang yang dicintainya. Meski harus berkorbankan harta,
meski harus berkorban raga, meski harus berkorban nyawa. Bahkan
kemudian, potongan jari Nailah bersama baju Utsman dibawa ke hadapan
Mu’awiyah di Syam untuk menunjukkan bukti kekejaman para pemberontak
dalam membunuh Utsman. Sebuah bukti cinta yang sangat mengagumkan.
Utsman demikian dalam mencintai Nailah. Karena itulah Nailah pun
merasakan dan mencintai Utsman dengan sangat mendalam. Curahan cinta
Utsman kepada Nailah memenuhi seluruh ruang di hati Nailah hingga mampu
menggerakkan dirinya menjadi tameng bagi kesewenang-wenangan para
pembunuh terhadap suaminya, seorang lelaki yang senantiasa menghidupkan
malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaatnya. Utsman senantiasa
membuktikan bahwa ia mencintainya dalam keadaan susah dan senang. Maka,
semakin luaslah ruang hati Nailah untuk menampung cinta dari sang suami.
Demikian pula kesadarannya untuk mencintai lelaki tua itu. Ruang
hatinya terlalu penuh dengan cinta dari lelaki tua itu hingga tak mampu
terisi oleh cinta yang lain.
Maka, ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyampaikan pinangannya untuk
janda Utsman bin ‘Affan itu, Nailah dengan tegar menjawab, “Tidak
mungkin ada seorang manusia pun yang bisa menggantikan kedudukan Utsman
di dalam hatiku.” Bahkan, kemudian ia merusak wajahnya yang cantik untuk
menolak semua peminang yang datang kepadanya. Ia memutuskan untuk hanya
mencintai Utsman, lelaki tua itu.
Mencintai adalah sebentuk pernyataan kesiapan diri untuk melakukan
kerja-kerja cinta. Maka, mencintai bukanlah tentang romantisme,
melankolisme, erotisme, kemesraan, khayalan, dan keindahan semata, namun
tentang kerja cinta dan pertaruhan kepribadian serta integritas si
pecinta, walaupun kita tidak menafikkan eksistensi hal-hal indah
tersebut. Mencintai adalah pekerjaan yang besar dan berat. Karena itu,
mencintai adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Namun, hanya sedikit
orang yang menyadari hal ini.
http://www.fimadani.com/utsman-bin-affan-dan-gadis-belia-yang-dinikahinya/