Anas Ibnu Malik radhiyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang
kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan
penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di
hadapan para Nabi pada hari kiamat." (HR. Ahmad. Shahih menurut Ibnu Hibban)
Dari hadits tersebut dikatakan bahwa seorang laki-laki diminta untuk
menikah dengan wanita yang subur yang bisa mempunyai banyak keturunan.
Namun meskipun begitu tujuan menikah tak serta merta untuk memiliki
keturunan atau untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Adanya cinta
yang dilandaskan karena Allah membuat dua insan yang sama-sama memiliki
kelebihan kekurangan bersatu.
Saya mendapatkan cerita dari salah seorang wali murid yang biasa saya
panggil Ummi. Bebeberapa minggu yang lalu, saat kami bertemu di asrama
ummi menceritakan pada saya bahwa beliau telah menjodohkan seorang
akhwat (sebut saja Melati) dengan seorang mas-mas (sebut saja mas Joko).
Melati adalah seorang guru ngaji anak ummi. Aktif, vocal, dan
berprestasi. Sedangkan mas Joko adalah anak kost dari ibu ummi. Pendiam,
kalem, dan tak seberprestasi Melati. Ketika keduanya ditanya sama ummi,
apakah sudah siap untuk menikah. Mereka jawab ia. Kemudian ummi
memperlihatkan foto masing-masing kepada mereka. Dan mereka sepakat
untuk melanjutkan pada proses ta’aruf.
Selama proses ta’aruf keduanya saling terbuka. Dimulai dari mas Joko
yang memperkenalkan jati dirinya lengkap. Satu paket antara kelebihan
dan kekurangannya. Begitupula dengan Melati. Diapun menceritakan siapa
jati dirinya. Satu paket antara kelebihan dan kekurangannya. Tak ada
yang ditutupi antara keduanya. Saling terbuka. Hingga setelah ditanya
sama ummi apakah mau lanjut ataukah sampai pada proses ini. Keduanya
sepakat untuk lanjut. Semua mengucap tasbih, Melati, mas Joko, abi dan
ummi yang ikut mendampingi proses ta’aruf mereka.
Setelah proses ta’aruf selesai Melati ditanya sama ummi “Eh kok kalian
bisa langsung cocok begitu? Padahal orang itu biasa saja. Sementara kamu
kan aktif dan berprestasi”
“Iya, Mi. Saya juga ga tahu kenapa. Saya hanya berdoa sama Allah agar
diberi pendamping yang siap menerima saya apa adanya. Sedang dia mau
menerima saya apa adanya” jawab Melati, sementara ummi mengucap tasbih.
“Tapi Mi, masak mau nikah saja, calon suami saya harus punya modal 40 juta untuk operasi organ kewanitaan saya?” lanjut Melati.
“Ya tak apa. Kalau memang Allah memberi rizki, insya Allah nanti kan
bakal dioperasi. Toh dia juga gapapa to?” kata ummi disambut senyuman
Melati.
Di lain waktu mas Joko yang ditanya sama ummi.
“Eh mas, kok kamu bisa langsung mantap sama dia?”
“Iya bude. Saya juga ga tahu. Saya minder bude, saya kan banyak kekurangannya”
“Lha nanti masalah itu gimana? Kan kalau kalian mau (‘afwan) jima’ kan dia harus dioperasi dulu” lanjut ummi.
“Tak apa bude. Gak harus sekarang kok. Saya niat nikah bukan untuk itu” jawab mas Joko.
Sungguh mengharukan. Bagaimana mas Joko bisa menerima Melati yang, punya
kekurangan pada organ kewanitaannya. Sehingga untuk bisa melakukan
(‘afwan) jima’ Melati harus dioperasi yang biayanya mencapai 40 juta.
Sedangkan Melati dengan segala prestasinya mau menerima mas Joko yang
biasa saja atau dalam artian tidak seberprestasi dirinya. Dari cerita
ummi ini, saya mencoba mengambil beberapa pelajaran, yakni :
Yang pertama, keterbukaan selama proses ta’aruf yang pada akhirnya
mempersatukan mereka. Saudaraku, adanya keterbukaan selama proses
ta’aruf sangat penting. Karena dari sini kita dapat mengetahui secara
detail kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sehingga kita dapat
memantapkan hati untuk lanjut ataukah berhenti sampai pada proses
ta’aruf.
Kadangkala karena sudah ada kecondongan hati terhadap ikhwan atau akhwat
yang diajak ta’aruf membuat kita menyembunyikan kekurangan kita. Yang
pada akhirnya ketika jadi menikah akan menimbulkan kekecewaan pada salah
satu pihak.
Seperti yang terjadi pada salah seorang teman. Selama proses ta’aruf
ternyata dari ikhwannya masih ada yang ditutupi. Dan setelah menikah
baru ketahuan kalau ikhwan tersebut punya ‘kelainan’ yang berujung pada
keretakan rumah tangga mereka. Hal ini tentu lebih menyakitkan dibanding
ketika kita memberi tahu sejak proses ta’aruf. Terserah jadi atau
tidak. Supaya kita juga tidak merasa seperti membeli kucing dalam karung
yang kita tidak tahu isi kucing tersebut benar-benar baik atau tidak.
Hehe.
Yang kedua, kesiapan keduanya untuk menerima apa adanya calon pasangan
dengan tidak menetepakan banyak kriteria. Melati hanya meminta kepada
Allah calon yang siap menerima dia apa adanya. Bahasanya satu paket
antara kelebihan dan kekurangannya. Sedangkan mas Joko yang merasa
dirinya tak punya banyak kelebihan seperti Melati, siap menerima Melati
dengan kekurangannya tersebut.
Yang ketiga adalah niat untuk menikah. Sebenarnya niat kita menikah itu
apa? Apakah benar-benar karena Allah ataukah hanya untuk memenuhi
kebutuhan biologis semata?. Kalau hanya itu tujuannya, maka mas Joko
jelas tidak akan menerimah Melati. Karena untuk mendapatkan kebutuhan
biologis tersebut Melati harus dioperasi yang biayanya mencapai 40 juta.
Namun di sinilah kelebihan keduanya. Mereka benar-benar niat menikah
karena Allah. Melati siap menerimah mas Joko apa adanya, meski tidak
satu marhalah, tidak seberprestasi dirinya. Sedangkan mas Joko juga
begitu, dia meniatkan semuanya karena Allah. Perkara kekurangan Melati
tersebut, itu bisa diatasi. “Tidak bude, saya tidak menikah karena itu
(kebutuhan biologis). Tapi saya benar-benar menikah karena Allah”
katanya pada ummi. Ibaratnya kekurangan fisik itu bisa diperbaiki,
sedangkan kekurangan (cacat hati dan akhlak) itu yang menjadi masalah
besar.
Semoga kita dapat mengambil ibrah dari sedikit cerita ini. Waallahu a’lam bish-showab. [Ukhtu Emil]
Sumber: bersamadakwah.com