Drama politik di Mesir berjalan begitu cepat. Pada 30
Juni, oposisi mendemo Presiden Mursi. Tiga hari kemudian (3 Juli), militer
dikomandani Jenderal Abdul Fattah Sisi membelot ke oposisi dengan mengudeta
sang presiden yang terpilih secara demokratis, membekukan Konstitusi Negara,
dan membubarkan Majelis Syuro.
Selanjutnya, militer menunjuk presiden boneka dan
mengajukan peta jalan (khiritoh at toriq) yang harus ditempuh para politisi.
Kemudian pada 22 Agustus, mantan penguasa diktator otoriter Husni Mubarak
dibebaskan dari penjara. Mubarak adalah jenderal (purn) angkatan udara yang
telah berkuasa lebih 30 tahun.
Antara kudeta militer hingga pembebasan Mubarak selama
kurang dari dua bulan telah terjadi berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi
manusia paling mengerikan yang bahkan tidak pernah dilakukan oleh tiga mentor
Sisi sebelumnya: Jamal Abdul Nasir, Anwar Sadat, dan Mubarak sendiri. Yakni, pembantaian
para pendukung Presiden Mursi yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk
Membela Legalitas (at Tahaluf al Wathani Lida’mi al Syar’iyah) yang dimotori
oleh Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul Muslimin menyebutkan, lebih dari 3.000 orang
menjadi syahid dibantai militer, ribuan lain luka berat dan ringan, ribuan lagi
hilang dan ditahan. Namun, versi militer dan pemerintahan boneka, angka yang
tewas tidak lebih dari seribu.
Pada hari-hari mendatang pemerintahan sementara (boneka)
dan militer tampaknya tidak akan melonggarkan tekanannya pada para pendukung
Presiden Mursi. Bila keadaan darurat selama sebulan yang diumumkan pertengahan
Agustus lalu belum cukup untuk menumpas gerakan aksi-aksi unjuk rasa yang
menentang kudeta militer, maka bisa dipastikan akan diperpanjang lagi. Dengan
keadaan darurat militer mempunyai keleluasaan untuk menghabisi pada pendemo.
Tidak peduli berapa jiwa lagi yang akan menjadi korban, seperti halnya mereka
dengan darah dingin telah membantai pada pendemo di Rabiah Aladawiyah, lapangan
An Nahdlah, di Ramsis, maupun di berbagai daerah lain di Mesir.
Perseteruan antara militer dan gerakan Islam politik yang
diwakili oleh Ikhwanul Muslimin boleh dikata sudah berjalan puluhan tahun lalu.
Yaitu, ketika pada 1952 militer Mesir yang dikomandani Jamal Abdul Nasir
mengudeta kekuasaan Raja Faruk. Sejak itu, hingga pada masa Anwar Sadat dan
kemudian Husni Mubarak, militer berkuasa penuh atas bangsa Mesir.
Perseteruan itu berpangkal pada perbedaan ideologi antara
militer dan Ikhwanul Muslimin. Militer berideologi sekuler, sedangkan Ikhwanul
Mulimin sebagai gerakan Islam politik ingin menerapkan nilai-nilai dan ajaran
Islam dalam berbangsa dan bernegara.
Pada tahun 1960-an, Nasir menerapkan idelologi
sosialis-komunis yang tidak hanya memisahkan agama dari negara, tapi juga
mengabaikan ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam militer.
Lalu ketika Anwar Sadat menggantikan Abdul Nasir sebagai presiden, Sadat mengubah
kiblat militer Mesir dari Uni Soviet ke Amerika Serikat, terutama setelah
Perjanjian Camp David pada 1978, yaitu perjanjian damai Mesir dengan Israel
yang difasilitasi oleh Amerika. Dalam perjanjian itu tercantum, AS menjamin
berbagai bantuan kepada Mesir yang meliputi persenjataan, dana, latihan perang,
tukar-menukar informasi, konsultasi, pendidikan perwira militer, dan lainnya.
Perjanjian Camp David yang telah mengucilkan Mesir dari
dunia Arab, juga sekaligus telah mendekatkan militer Mesir dengan militer
Amerika. Hubungan yang kemudian semakin memperkuat ideologi sekuler di kalangan
militer Mesir. Kebijakan yang sama kemudian juga diterapkan pada zaman Presiden
Husni Mubarak yang berkuasa selama 30 tahun lebih.
Dengan ideologi sekuler seperti itu, tidak aneh bila
gerakan politik yang diwakili Ikhwanul Muslimin terus-menerus menjadi musuh
bebuyutan rezim militer Abdul Nasir, Anwar Sadat, dan Husni Mubarak.
Tokoh-tokohnya banyak yang dibunuh atau dipenjarakan. Yang lainnya banyak pula
yang melarikan diri ke luar negeri.
Revolusi rakyat besar-besaran yang kemudian menggulingkan
rezim Husni Mubarak tampaknya telah membuat militer Mesir terkejut dan
sekaligus sakit hati. Apalagi, yang muncul sebagai pemenang dalam pemilu yang
demokratis adalah Muhammad Mursi, presiden yang dicalonkan oleh Partai
Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Ikhwanul Muslimin.
Lebih menyakitkan lagi ketika Presiden Mursi kemudian
mengembalikan tugas-tugas militer, sebagai konsekuensi dari negara demokratis,
hanya sebatas pertahanan negara alias kembali ke barak. Militer tidak boleh
terlibat dalam urusan politik.
Karena itu, rentetan peristiwa dari kudeta militer
(penggulingan Mursi), pembubaran Majelis Syuro, pembekuan konstitusi,
penunjukan presiden sementara (boneka), hingga pembebasan Husni Mubarak harus
dibaca sebagai "hal yang direncanakan", bukan peristiwa yang
tiba-tiba. Untuk tujuan itu, mereka pun berkonspirasi dengan kelompok-kelompok
liberal, sekuler, nasionalis, dan fulul (orang-orang dari rezim Mubarak). Mereka
ini adalah kelompok-kelompok sakit hati karena kalah dalam pemilu. Mereka
kemudian membentuk oposisi kuat terhadap Mursi dan menuduh sang presiden ingin
menjadikan Mesir sebagai negara Ikhwanul Muslimin (akhunatu Misro).
Yang menyedihkan, kelompok liberal dan sekuler yang
tadinya bahu-membahu dengan komponen bangsa lainnya, termasuk Ikhwanul
Muslimin, untuk menjatuhkan Husni Mubarak, kini lebih suka bekerja sama dengan
militer karena kesamaan ideologi. Bahkan, meskipun untuk itu harus mengorbankan
sistem demokrasi, dengan menjatuhkan Presiden Mursi yang terpilih secara
demokratis melalui pemilu.
Intinya, mereka sebenarnya tidak peduli dengan demokrasi.
Yang penting bagi mereka--kelompok sekuler dan liberal--gerakan Islam politik
yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin tidak berkuasa di Mesir.[]
Penulis: Ikhwanul Kiram Mashuri
Sumber: Republika