Perlu diketahui bahwa rencana kudeta sesungguhnya sudah
disiapkan dan dimulai jauh-jauh hari sebelum Mursi menang sebagai presiden.
Mursi, IM dan bangsa Mesir yang malam ini berontak telah membaca itu. Maka nya
mereka jengkel juga pada Mursi dan IM yang masih memilih diam dan menggunakan
cara diplomatis.
Ya, selama pemerintahannya Mursi memang lebih banyak
memilih cara damai ketimbang balas dendam pada orang-orang Mubarak dan
pihak-pihak yang ingin merusak Mesir. Berpengalaman menjadi anggota parlemen
terbaik pada tahun 2005 Mursi tentu mengenali satu persatu ‘belang’
pejabat-pejabat Mubarak. Namun dia masih membuka kesempatan kepada beberapa
oknum untuk ‘bertaubat’. Sehingga ia sengaja membiarkan beberapa orang yang
dipandang berpotensi untuk berubah itu di beberapa lembaga, karena mereka punya
pengalaman.
Padahal sudah banyak tekanan dari pendukungnya agar Mursi
tegas dan melawan. Namun dia tidak memilih sikap frontal. Inilah ‘kesalahan
terbesar’ Mursi, tidak mau menggunakan cara diktator. Ia hanya menggunakan
bahasa sindiran diplomatis kepada oknum yang tidak mau jujur.
Dalam pidatonya 6 Desember 2012 silam Mursi akhirnya
perlihatkan kemarahannya dalam pernyataan yang cukup keras ketika itu dan belum
pernah sebelumnya ia sekeras itu. “Inilah saatnya menghukum mereka.” Dan Mursi
beri mereka pelajaran satu persatu lewat jalur undang-undang dan kebijakan yang
mematahkan upaya kudeta atas dirinya. Ia mengeluarkan dekrit lebih cepat
sebelum MK keluarkan kebijakan. Sehingga kolumnis senior Fahmi Howeidi ketika
itu berkomentar, “Kudeta atas kudeta.”
Ia juga memecat jaksa agung Abdul Majid karena tidak
serius menangani kasus kejahatan rezim lama. Mungkin inilah yang membuat fulul
semakin sakit hati.
Sejarah perjalanan revolusi Mesir telah mencatat bahwa
Mursi pernah ‘mengkudeta’ militer. Lagi-lagi cerita ‘kudeta atas kudeta’ .
Mursi memecat marsekal Tanthawi. Skenarionya sederhana dan seakan tiba-tiba,
yaitu insiden penyerangan OTK di Sinai hingga gugurnya 16 tentara Mesir.
Thantawi dipecat dan diganti dengan Sisi, perwira yang tak begitu terkenal
sebelumnya. Sisi ‘dibesarkan’ oleh Mursi, ia diberi kepercayaan. Maka wajar
jika kini orang menyebut kudeta ini adalah pengkhianatan. Dan ini satu lagi
kesalahan fatal Mursi, ia belum sukses ‘menguasai’ militer secara penuh.
Adapun cerita Baradei dan kawan-kawannya yang kemudian
mendirikan komplotan ‘Jabhah Inqadz’ dan menyerukan percepatan pemilu, ini
adalah buah dari ketidakpuasan akibat kekalahan dalam pemilu presiden lalu.
Tiga ‘lelaki gaek’ Sabahi, Musa dan Baradei sepakat bahwa revolusi telah dicuri
oleh Ikhwan. Mereka tidak percaya dengan kenyataan bangsa Mesir tak mau
menerima sistem liberal, sosialis dan sekuler. Sehingga menjelang 100 hari
pertama ia sudah menjatuhkan vonis gagal kepada Mursi dan Mursi layak berhenti.
Maka kudeta pemberontakan 30 Juni kemarin adalah
akumulasi dari semua kemarahan, dendam dan kekesalan oposisi bersama
kroni-kroni Mubarak sehingga mereka serukan pemberontakan, “Jika kita ingin
memenangkan revolusi 25 Januari, maka kita harus memberontak..!”
Motivasi sesungguhnya pemberontakan ini adalah karena
jabatan, perseteruan ideologi dan kekhawatiran pada menguatnya poros Islam.
Adapun kelaparan dan keadilan sosial hanyalah cerita untuk merasionalkan alasan
tersebut di atas. Pasca 25 Januari ekonomi Mesir memang mengalami kolaps. Di
samping faktor krisis yang disebabkan oleh rezim korup Mubarak juga faktor
instabilitas Mesir selama kerusuhan 18 hari. Namun kemerosotan ekonomi juga
disebabkan karena para pengusaha Mubarak menarik uang-uang mereka dari Mesir
dan memindahkannya ke luar negeri. Sehingga Mursi terpaksa berkeliling ke
berbagai negara menawarkan masa depan Mesir dengan harapan para investor
bersedia datang ke Mesir.
Dalam pidato laporan tahunannya pada 28 Juni lalu, Mursi
berbicara panjang lebar. 2,5 jam full ia berdiri tanpa rehat atau sekedar
minum, melaporkan apa yang terjadi setahun ini dan meluapkan semua yang dia
rasakan namun selama ini ditahan. Juga tentang media-media yang tidak adil
mencerca dan memfitnah nya, tentang kejahatan para mafia sehingga Mesir
mengalami kerugian besar. Bahkan ia tidak lagi segan-segan menyebut beberapa
nama oknum yang sengaja menyembunyikan identitasnya di balik semua huru-hara
politik setahun ini.
“Cukup setahun!” katanya malam itu sebagai ujung dari
kesabarannya melihat apa yang terjadi di jalanan. Mursi pun mengeluarkan 7
roadmap masa depan guna menyudahi ‘permainan’ ini. Tujuh kebijakan itu antara
lain:
Menugaskan Kementerian Dalam Negeri untuk membentuk tim
khusus guna menangani para preman
Membentuk komite independen yang terdiri dari unsur
parpol dan kekuatan politik guna membahas amandemen undang-undang
Membentuk komite tinggi untuk rekonsiliasi nasional yang
terdiri dari unsur-unsur ormas
Mandat langsung dari presiden kepada para menteri kabinet
dan gubernur untuk memecat oknum-oknum yang menjadi penyebab krisis
Mencabut izin seluruh pom bensin yang melakukan
penimbunan bensin
Mandat kepada kementerian Sumber Daya & Energi untuk
mengambil alih stasiun bahan bakar yang telah dibekukan dan mengalihkan manajemennya
kepada pihak berwenang demi kepentingan rakyat
Mengharuskan para gubernur dan menteri untuk menunjuk
asisten dari kalangan pemuda di bawah 40 tahun dalam tempo 4 minggu dari
sekarang
Tapi Mursi dituntut melepaskan legitimasi, inilah yang
tidak bisa dia kabulkan. Dia sudah bersumpah di hadapan jutaan rakyat Mesir di
Tahrir setahun yang silam bahwa ia akan memikul amanah menyelamatkan revolusi
ini dari pihak-pihak yang berniat buruk merampasnya. Rakyat sudah mengangkatnya
dengan cara yang sah lewat pemilu demokratis yang diperjuangkan berdarah-darah
oleh putra-putri Mesir. Maka apakah hari ini dia akan membiarkan legitimasi itu
terlepas dan ia menyerah sementara dia tahu yang tengah dihadapi adalah para
penjahat?
Wajar jika hari ini puluhan juta rakyat yang mendukungnya
siap mati memperjuangkan agar Mursi ‘kembali’ ke istana setelah tahu dan
mengerti apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Revolusi yang telah
diperjuangkan 18 hari dan dibayar dengan darah telah dirampas kembali oleh
rezim dengan cara paling menyakitkan. Pengkhianatan.
Wajar jika hari ini mereka menuntut hak legitimasi itu
karena mereka juga rakyat, memiliki kekuasaan yang sah secara hukum dan
undang-undang negara demokrasi. Maka keputusan kudeta ini dengan sendirinya
telah menciderai hukum dan melanggar hak sebagian yang lain. Tidak ada
maslahatnya, kecuali membuka peperangan terbuka sesama anak bangsa.
Jika kemudian perlawanan ini mengatasnamakan jihad
politik, maka tidak bisa dipersalahkan. Standarnya bukan kekuasaan dan jabatan,
tapi hak dan kebenaran. Jika ini dibiarkan, maka akan menjadi pembuka bagi
kezhaliman dan pelanggaran-pelanggaran berikutnya. Apakah ada jaminan kudeta
ini akan menghentikan huru-hara? Nyatanya tidak. Tidak pun ada seruan untuk
lakukan perlawanan tetap akan ada pihak yang tidak bisa menerima lalu mengambil
inisiatif sendiri untuk melawan.
Dan massa gerakan Islam tentu punya alasan tentang seruan
pembelaan terhadap Syari’ah. Karena wacana yang paling mendasar sebenarnya
adalah perdebatan panjang terkait adopsi dan penerapan Syariat Islam. Cerita
ini sudah dibuka jauh sebelum Mursi diangkat sebagai presiden dan berlanjut
setelah ia memerintah.
Pasca terguling nya Mubarak 11 Februari 2011, Mesir
sempat dilanda kemelut dan perdebatan, ‘ke mana arah masa depan Mesir pasca 25
Januari?’ Menjadi negara agama kah? Negara madani (sipil) atau negara apa? Lalu
undang-undang yang bagaimana yang akan dipakai?
Ketika Islamis memenangkan pemilu parlemen, kubu sekuler,
libaral dan yang sejalan dengan mereka mulai gusar. Mereka kemudian
menakut-nakuti Koptik akan bahaya Islamisasi dan membumbuinya dengan wacana
konflik sektarian.
Catatan lain adalah tentang perlawanan oposisi dalam
perdebatan konstitusi. Mereka tidak menerima draft konstitusi karena yang
menyusunnya mayoritas dari kubu Islam dan ketika itu disepakati untuk
mengadopsi syari’ah sebagai landasan asasi. Semua pihak sudah dilibatkan ketika
itu. Tapi mereka mengklaim bahwa konstitusi baru ini hanya akan
mendiskriminasikan kelompok-kelompok minoritas dan menguntungkan Islam khususnya
Ikhwan. Mereka satu persatu menarik diri dari Konstituante hanya karena alasan
ketakutan. Dan cerita ini ‘nyambung’ ketika memperhatikan tuntutan-tuntutan
Tamarrud 30 Juni. Mereka menegaskan bahwa Mesir tidak akan diatur dengan agama.
Kepentingan apa yang sebenarnya lebih besar? (sbb/sinai/dkw)
Oleh: Harun Al Rasyid
Sumber:
http://www.dakwatuna.com/2013/07/06/36348/kudeta-mursi-adalah-skenario-panjang-dan-sistematis/#ixzz2YHCluQOH