Senin, 24 Juni 2013

Mari Menjadi Da'i yang Tidak Reaksioner





By: Nandang Burhanudin
****

Dakwah adalah profesi terbaik, sepanjang diiringi dengan amal shalih. Da'i adalah status terbaik, sepanjang da'i menjadi teladan dalam beramal. Da'i tak ubahnya dokter dan masyarakat sebagai pasiennya. Da'i harus terjaga sterilitas, imunitas, bahkan stabilitasnya sebelum terjun mendiagnosa, memeriksa, bahkan melakukan aksi pengobatan kepada masyarakat.
Apa jadinya, jika da'i yang hendak terjun mengobati masyarakat adalah da'i yang ringkih, tidak stabil, tidak imun, dan tidak steril. Tak ubahnya dokter yang tentu "bunuh diri" memeriksa pasien dengan ragam penyakitnya. Mulai yang flu ringan hingga pasien HIV/AIDS, dll.
Apa jadinya pula jika da'i adalah sosok yang ringkih kualitas ruhiahnya, kurang tsaqofahnya, terbatas kitab bacaannya, tak jelas talaqqi ilmunya, atau sempit pergaulannya. Bisa dipastikan ibarat dokter yang salah kaprah memberikan resep dokter kepada pasiennya. Bukankah sering terjadi "malpraktek" di dunia kedokteran? Apakah malpraktek juga terjadi di dunia dakwah?

Kita sering dihadapkan pada fenomena, da'i yang salah memberi resep kepada pasiennya. Saat masyarakat miskin-bodoh-terbelakang, resep yang kita berikan bukan solusi ekonomi-pendidikan-atau peningkatan kualitas SDM, tapi malah meneriakkan yel-yel heroisme atau hanya mengatakan, "Islam adalah solusi bagi semua masalah!" Tanpa menjabarkan lebih detail dan nyata, bagaimana tupoksi penyelesaian masalah cara Islam. Diyakini, peran da'i demikian ibarat dokter yang mendiagnosa penyakit anemia dan ia memvonisnya leukimia. Parah bukan?

Karena da'i adalah dokter yang "dianggap" mampu mencarikan solusi dari kesulitan yang ada, maka da'i harus steril dari penyakit-penyakit yang kerap menghinggapi para juru dakwah. Penyakit tersebut adalah: Mental infi'aliyyah (reaksioner).

Da'i yang reaksioner adalah cerminan dari jiwa emosional dan berbasis gerakan yang tidak memiliki manhaj yang jelas. Sikap reaksioner nampak saat da'i dan gerakan dakwahnya hanya fokus mengomentari kasus per kasus, fenomena ke fenomena, tidak holistik menyikapi keadaan sebagai satu kesatuan utuh. Maka sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang jelas.

Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain dakwah yang infi'aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj (jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah Swt. telah menegaskan pentingnya manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)

Dampaknya sangat tragis. Bagaimana dakwah kita saat ini hanya fokus pada permasalahan furu' dan kita abai terhadap masalah ushul. Kita menjadi da'i yang marah saat organisasi kita dihina, tapi tak terusik saat agama kita dilecehkan. Kita menjadi da'i yang mudah mengkafir-kafirkan orang lain, bahkan acap mengarahkan telunjuk kafir, munafik, musyrik kepada umat yang tidak satu model perjuangan dengan kita. Bahkan kita pun sering gelap membabi buta bila pemimpin partai-ormas-atau tokoh dakwah kita dirudung masalah, bukan?

Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan politik, atau problem sosial yang fenomanial. Sementara itu, permasalahan umat yang sesungguhnya terabaikan.

Namun pandangan di atas bukan berarti da'i dan gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan fenomanial. Tapi lebih dari itu seorang da'i dan gerakan dakwah harus memiliki Rekam Medis (Medrep) atas pasien-pasien yang ia obati. Saking pentingnya Rekam Medis ini, beberapa RS di Singapura dan Malaysia mensyarakatkan agar setiap pasien yang hendak berobat, harus mengirimkan catatan, sejarah, latarbelakang, atau rekam jejak kehidupan calon pasien. Itu untuk kesehatan fisik. Lalu mengapa untuk kesehatan ruhiah, kesembuhan penyakit yang berkaitan dengan agama dan mentalitas tidak diberlakukan hal yang sama?

Nah, realita membuktikan, rata-rata da'i dan gerakan dakwah tidak memiliki kecakapan yang patut dan cukup tentang rekam jejak masyarakat yang ia dakwahi, sejarah masa lalunya, kebiasaan dan tradisi kesehariannya, profesi dan hobi, bahkan para da'i tidak "mau mengerti" realitas bahwa rata-rata objek dakwahnya adalah masyarakat yang sejak lama dibuat bodoh oleh penjajah.

Karena kita tidak memiliki pemahaman yang baik itulah, kita sering reaksional, main gebyah uyah, tidak malapah gedang (tadarruj/bertahap). Akhirnya keindahan Islam hanya sebatas teori di kitab Suci atau ada di makalah kumpulan Sunnah, tapi tak mampu memberi solusi yang nyata. Ujung-ujungnya, umat menjauhi kita.

Karena kita dikenal sebagai da'i malpraktek. Da'i yang salah memberi resep. Karena diagnosanya tidak didasari pemahaman yang baik, cenderung emosional, dan tak patut menjadi teladan. Akankah kita berubah?

Wallahu A'lam

Bandung; 5:44, 23-06-13
via @pkspiyungan