Ia pemuda Gaza, berusia dua puluh enam tahun. Ahmed namanya. Seorang
sarjana teknik arsitektur dari The Islamic University of Gaza. Awal saya
mengenalnya melalui sebuah situs language exchange, komunikasi kami pun
berlanjut melalui skype.
Ia tinggal bersama keluarganya di Khan Younis, sebuah kota di selatan
Jalur Gaza yang berjarak empat kilometer dari Laut Mediterania. Sekedar
informasi, populasi di kota Khan Younis terus meningkat dari tahun ke
tahun. Berdasarkan sensus Biro Pusat Statistik Palestina, jumlah
penduduk kota ini pada tahun 2007 adalah sebanyak 142.637 jiwa. Pada
tahun 2010 meningkat menjadi 202.000 jiwa dan bertambah lagi menjadi
350.000 jiwa di tahun 2012.
Ahmed adalah seorang warga sipil biasa yang tidak terlibat di pergerakan
apapun. Seorang pemuda pemalu yang gemar mendalami sejarah Islam. Ia
senang belajar dan beberapa kali mencoba mendapatkan beasiswa jenjang
pasca sarjana dari universitas-universitas di Turki. Dan seperti halnya
warga muslim Gaza yang lain, ia juga seorang penghafal Al-Qur’an.
Ada banyak kisah yang ia tuturkan pada saya, tentang Islam, tentang Gaza
dan warganya, serta tentu saja tentang HAMAS. HAMAS adalah sebuah
organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1987 oleh Syeikh Ahmad
Yassin, Abdul Aziz Rantissi dan Mahmud Zahar yang bertujuan untuk
membebaskan Palestina dari okupasi Israel. Sejak tahun 2007, pasca
kemenangannya di pemilu parlemen Palestina di tahun 2006, organisasi
Islam ini mengemban amanah kepemimpinan di Gaza.
Medio 2012, Ahmed menuturkan kepada saya sebuah kisah mengenai salah
seorang pemimpin HAMAS, yang membuat kami tergelak bersama namun
sejatinya kisah ini sarat nilai keteladanan. Inilah penuturannya...
Di Gaza, ada sebuah area yang sebelumnya dikuasai oleh Yahudi, namun
pada tahun 2005 mereka hengkang dari sana dan meninggalkannya begitu
saja. Area yang cukup luas namun belum termanfaatkan itu kemudian
digarap oleh seorang petinggi HAMAS. Ia mengomandoi personel-personel
HAMAS yang lain untuk mengelola lahan tersebut. Bekerja keras
mengubahnya menjadi lahan pertanian yang sangat produktif, yang hasilnya
bisa dinikmati oleh warga Gaza yang hidup dalam keterbatasan.
Yang istimewa dari petinggi HAMAS ini, menurut Ahmed, adalah caranya
bekerja. Ia tak banyak melontarkan janji muluk bahwa ia akan melakukan
ini itu, akan begini akan begitu. Tidak. Ia bekerja tanpa gembar-gembor,
tanpa publikasi, menyulap lahan yang dicampakkan menjadi sebuah area
penuh pohon dan tanaman berbuah ranum yang menyebabkan orang-orang
–termasuk Ahmed, terkesima melihat hasilnya. Hampir tidak percaya.
Karena prestasinya, petinggi HAMAS tersebut diberi hadiah sebuah jeep
oleh pemerintah –HAMAS itu sendiri. Ia gunakan jeep itu selama lebih
kurang sebulan sampai salah seorang temannya memberi saran untuk
mengganti jeep tersebut dengan mobil biasa. Menurut Ahmed, di Gaza,
seseorang yang mengendarai jeep memiliki reputasi yang kurang baik di
mata warga. Karena jeep harganya sangat mahal. Petinggi HAMAS tadi
akhirnya mengganti jeep-nya dengan sebuah mobil biasa.
Kisah berlanjut ke suatu hari ketika Ahmed akan bepergian seorang diri.
Ia berdiri di tepi jalan. Dilihatnya sebuah taksi di kejauhan melaju ke
arahnya. Ia menyetop taksi tersebut. Sedan itu berhenti di depannya
persis.
Seketika itu juga Ahmed terperanjat, hatinya bergetar takut. Kedua
matanya menatap si sopir taksi yang wajahnya tak asing baginya: Si
petinggi HAMAS itu! Ia memperhatikan lagi sejenak mobil didepannya.
Astaga! Ini bukan taksi! Ini mobil pribadi laki-laki tersebut yang
–saking sederhananya, ternyata mirip taksi!
Ahmed buru-buru meminta maaf. Nyalinya agak ciut berhadapan dengan petinggi HAMAS yang dikenal sebagai orang-orang kuat itu.
“Saya minta maaf. Tadi saya pikir mobil anda ini taksi.” Ahmed berujar resah, khawatir si pemilik mobil naik pitam.
Alih-alih marah, lelaki di dalam mobil itu malah melempar senyum hangat
dan berujar ramah, “Ya, ini memang taksi. Anda mau diantar kemana?”
Spontan Ahmed menolak tawarannya. Ia sungkan berada dalam satu mobil
dengan salah seorang petinggi HAMAS. Namun lelaki itu memaksa untuk
mengantarnya.
Pada akhirnya Ahmed tak kuasa menolak. Ia masuk ke dalam mobil. Lelaki
yang menyupirinya, seseorang yang pernah menjadi juru bicara HAMAS,
benar-benar mengantar dirinya sampai ke tempat yang ia tuju. Tentu,
tidak seperti taksi komersil, “taksi” yang satu ini tidak memberi
tagihan pembayaran ke penumpangnya.
Saya tergelak saat Ahmed menceritakan kisah ini, namun beberapa
bagiannya membuat saya terperangah, terkagum-kagum. Bagi saya kisah ini
hampir seperti dongeng. Tapi nyatanya bukan, sama sekali bukan dongeng.
Mungkin inilah wujud kerja yang sarat cinta sehingga menghasilkan
harmoni dalam setiap lembar kehidupan insan. ***
*penulis: @liaaqeela on twitter via @pkspiyungan