Selasa, 16 April 2013

Ia pemuda Gaza, berusia dua puluh enam tahun. Ahmed namanya. Seorang sarjana teknik arsitektur dari The Islamic University of Gaza. Awal saya mengenalnya melalui sebuah situs language exchange, komunikasi kami pun berlanjut melalui skype.
Ia tinggal bersama keluarganya di Khan Younis, sebuah kota di selatan Jalur Gaza yang berjarak empat kilometer dari Laut Mediterania. Sekedar informasi, populasi di kota Khan Younis terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus Biro Pusat Statistik Palestina, jumlah penduduk kota ini pada tahun 2007 adalah sebanyak 142.637 jiwa. Pada tahun 2010 meningkat menjadi 202.000 jiwa dan bertambah lagi menjadi 350.000 jiwa di tahun 2012.
Ahmed adalah seorang warga sipil biasa yang tidak terlibat di pergerakan apapun. Seorang pemuda pemalu yang gemar mendalami sejarah Islam. Ia senang belajar dan beberapa kali mencoba mendapatkan beasiswa jenjang pasca sarjana dari universitas-universitas di Turki. Dan seperti halnya warga muslim Gaza yang lain, ia juga seorang penghafal Al-Qur’an.
Ada banyak kisah yang ia tuturkan pada saya, tentang Islam, tentang Gaza dan warganya, serta tentu saja tentang HAMAS. HAMAS adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1987 oleh Syeikh Ahmad Yassin, Abdul Aziz Rantissi dan Mahmud Zahar yang bertujuan untuk membebaskan Palestina dari okupasi Israel. Sejak tahun 2007, pasca kemenangannya di pemilu parlemen Palestina di tahun 2006, organisasi Islam ini mengemban amanah kepemimpinan di Gaza.
Medio 2012, Ahmed menuturkan kepada saya sebuah kisah mengenai salah seorang pemimpin HAMAS, yang membuat kami tergelak bersama namun sejatinya kisah ini sarat nilai keteladanan. Inilah penuturannya...
Di Gaza, ada sebuah area yang sebelumnya dikuasai oleh Yahudi, namun pada tahun 2005 mereka hengkang dari sana dan meninggalkannya begitu saja. Area yang cukup luas namun belum termanfaatkan itu kemudian digarap oleh seorang petinggi HAMAS. Ia mengomandoi personel-personel HAMAS yang lain untuk mengelola lahan tersebut. Bekerja keras mengubahnya menjadi lahan pertanian yang sangat produktif, yang hasilnya bisa dinikmati oleh warga Gaza yang hidup dalam keterbatasan.
Yang istimewa dari petinggi HAMAS ini, menurut Ahmed, adalah caranya bekerja. Ia tak banyak melontarkan janji muluk bahwa ia akan melakukan ini itu, akan begini akan begitu. Tidak. Ia bekerja tanpa gembar-gembor, tanpa publikasi, menyulap lahan yang dicampakkan menjadi sebuah area penuh pohon dan tanaman berbuah ranum yang menyebabkan orang-orang –termasuk  Ahmed, terkesima melihat hasilnya. Hampir tidak percaya.
Karena prestasinya, petinggi HAMAS tersebut diberi hadiah sebuah jeep oleh pemerintah –HAMAS itu sendiri. Ia gunakan jeep itu selama lebih kurang sebulan sampai  salah seorang temannya  memberi saran untuk mengganti jeep tersebut dengan mobil biasa. Menurut Ahmed, di Gaza, seseorang yang mengendarai jeep memiliki reputasi yang kurang baik di mata warga. Karena jeep harganya sangat mahal. Petinggi HAMAS tadi akhirnya mengganti jeep-nya dengan sebuah mobil biasa.
Kisah berlanjut ke suatu hari ketika Ahmed akan bepergian seorang diri. Ia berdiri di tepi jalan. Dilihatnya sebuah taksi di kejauhan melaju ke arahnya. Ia menyetop taksi tersebut.  Sedan itu berhenti di depannya persis.
Seketika itu juga Ahmed terperanjat, hatinya bergetar takut. Kedua matanya menatap si sopir taksi yang wajahnya tak asing baginya: Si petinggi HAMAS itu! Ia memperhatikan lagi sejenak mobil didepannya. Astaga! Ini bukan taksi! Ini mobil pribadi laki-laki tersebut yang –saking sederhananya, ternyata mirip taksi!
Ahmed buru-buru meminta maaf. Nyalinya agak ciut berhadapan dengan petinggi HAMAS yang dikenal sebagai orang-orang kuat itu.
“Saya minta maaf. Tadi saya pikir mobil anda ini taksi.” Ahmed berujar resah, khawatir si pemilik mobil naik pitam.
Alih-alih marah, lelaki di dalam mobil itu malah melempar senyum hangat dan berujar ramah, “Ya, ini memang taksi. Anda mau diantar kemana?”
Spontan Ahmed menolak tawarannya. Ia sungkan berada dalam satu mobil dengan salah seorang petinggi HAMAS. Namun lelaki itu memaksa untuk mengantarnya.
Pada akhirnya Ahmed tak kuasa menolak. Ia masuk ke dalam mobil. Lelaki yang menyupirinya, seseorang yang pernah menjadi juru bicara HAMAS, benar-benar mengantar dirinya sampai ke tempat yang ia tuju. Tentu, tidak seperti taksi komersil, “taksi” yang satu ini tidak memberi tagihan pembayaran ke penumpangnya.
Saya tergelak saat Ahmed menceritakan kisah ini, namun beberapa bagiannya membuat saya terperangah, terkagum-kagum. Bagi saya kisah ini hampir seperti dongeng. Tapi nyatanya bukan, sama sekali bukan dongeng. Mungkin inilah wujud kerja yang sarat cinta sehingga menghasilkan harmoni dalam setiap lembar kehidupan insan. ***


*penulis: @liaaqeela on twitter  via  @pkspiyungan