Sabtu, 31 Agustus 2013

Peran Strategis Israel di Balik Kekacauan Timur Tengah (Mesir dan Suriah)

Transformasi demokrasi yang terjadi di Timur Tengah dengan adanya Arab Spring, adalah tuntutan utama bangsa (rakyat) Arab untuk mewujudkan kebangkitan Arab yang akan mengubah timbangan kekuatan yang ada di Timur Tengah dan ini sama sekali tidak menguntungkan kepentingan Zionis Israel dan Amerika di Timur Tengah.

Maka berbagai upaya dilakukan untuk menggagalkan transformasi demokrasi di Timur Tengah khususnya di Mesir dan Suriah, dua negara yang menjadi sekutu strategis Israel sepanjang beberapa dekade terakhir. Baik karena peran strategis yang dimainkan oleh dua negara ini, juga karena secara geograpis dua negara ini yang langsung berbatasan dengan Israel. Maka berapapun harga yang harus dibayar dua negara ini harus tunduk pada kebijakan dan kepentingan Israel dan Amerika.

Dua Negara ini, Mesir dan Suriah juga memiliki sejarah perjuangan pembebasan Palestina dan Al-Aqsa dari tangan penjajah Salibis dan musuh Islam, baik pada masa Salahuddin Al-Ayubi yang berhasil membebaskan Mesir dari pengaruh dinasti Syiah Fatimiyah (Para sejarawan muslim lebih memilih penggunaan penyebutan dinasti Fatimiyah sebagai dinasti Ubaidiyah, dinisbatkan kepada pendiri dinasti Syiah di Mesir yaitu Abu Abdillah Ubaidillah, penggunaan dinasti Fatimiyah kurang tepat karena dinistbatkan ke keturunan Rasulullah Saw., yaitu Fatimah r.a), setelah Salahuddin berhasil membebaskan Mesir dari pengaruh Syiah di Mesir, Salahuddin lalu menyatukan Mesir dan Suriah (saat itu bernama Syam), lalu kemudian terjadilah perang pembebasan Palestina dan Al-Quds dari tangan tentara Salib. Dan skenario sejarah ini yang kita harapkan kembali terjadi,  Mesir dan Suriah dikuasai oleh pejuang revolusi dan bersatu membebaskan Palestina dari cengkraman Zionisme.

Peran Israel Membantu Junta Militer dalam Pembantaian Demonstran Damai

Kembali membahas situasi yang terjadi di Mesir,  pasca pembantaian demonstrasi damai di Rabaa dan Nahdah Squera serta tempat lainnya di Mesir yang menelan ribuan jiwa dan puluhan ribu luka-luka, Yossi Melmen seorang kolumnis Haaretz dan Jerusalem Post pada tanggal 15/8 sehari pasca pembantaian di Rabaa, ia membeberkan peran strategi Israel yang membantu Abdul Fattah El-Sisi melakukan pembantaian demonstrasi damai tersebut, dalam artikelnya Yossi Melmen menulis;

“Dari perspektif diplomatik dan militer, Israel mengikuti perkembangan yang terjadi di Mesir dengan penuh kekhwatiran, Israel menyadari peran membantu militer Mesir menjadi terbatas setelah peristiwa kemarin (Pembantaian), namun kalau kita perhatikan dengan teliti, Israel memiliki kekuatan untuk membantu militer Mesir melalui peran diplomatik yang dimainkan Israel baik di Washington maupun di kota-kota Eropa, untuk menenangkan pemerintahan kota-kota Eropa dan Washington, agar tidak cepat mengutuk operasi militer Mesir yang membubarkan dan mengosongkan lapangan Mesir dari demonstrans Ikhwanul Muslimin di Kairo dan kota-kota lainnya.
Sejak dewan militer mengambil alih kekuasaan dibawa kepemimpinan Jenderal Abdul Fattah El-Sisi yang menggulingkan presiden pemerintahan Islami Muhammad Mursi sejak  enam minggu lalu. Pemerintahan Israel  bekerja rahasia dan dibantu oleh sahabat-sahabatnya, menggunakan kemampuan diplomasi dan sumber-sumber pengaruh lainya, agar negara-negara Barat,  khususnya Amerika Serikat tidak mengutuk penggunaan kekuatan oleh militer Mesir terhadap Ikhwanul Muslimin, Israel berperan penting untuk menenangkan negara-negara Barat agar tidak menyebut apa yang terjadi di Mesir sebagai "pembantaian"."

Ketakutan Israel adalah bahwa hukuman tersebut akan melemahkan pemerintah  baru Mesir yang didukung militer karena kecaman internasional, dan akan memperkuat kehendak Ikhwanul Muslimin untuk melanjutkan perjuangan hingga akhir dan akan menguatkan sikap penolakannya terhadap solusi politik untuk menangani krisis.”

Dan Israel takut keruntuhan perjanjian Cam David dengan terjadinya dua kondisi yang tidak diinginkan, pertama runtuhnya kekuasaan militer di Mesir, kedua memburuknya situasi di Mesir hingga terjadi perang saudara.

Inilah peran stategis Israel yang menjadi dalang dari krisis yang terjadi di Mesir, negara yang menjadi sekutu paling stategis bagi Israel selama pemerintahan presiden terguling Husni Mubarak.

Zionis juga sangat menyadari ujung bencana kudeta Sisi dan pembantaiannya serta dampaknya terhadap masa depan Musim Semi Arab, yang tersandung di Suriah dan Mesir.

Kesaksian ini disampaikan oleh Ihzakil Dror, yang dijuluki bapak pemikir strategis Zionis, dan dikutip oleh Dr. Nu'mani pakar Zionis: "Pentingnya kudeta yang dilakukan oleh Sisi tidak terletak dalam penghapusan kelompok ekstremis seperti Ikhwanul Muslimin, tetapi  langkah ini sebagai paku terakhir dalam peti mati transformasi demokrasi yang mulai meledakkan revolusi transformasi demokrasi, dan perubahan ini menjadi sangat penting bagi kami, karena tuntutan transformasi demokrasi adalah salah satu tuntutan utama untuk mewujudkan kebangkitan Arab yang akan mengubah timbangan kekuatan yang ada yang tidak mendukung kepentingan kami".

Peran Israel Dibalik Kampanye Serangan Amerika ke Suriah

Kini beberapa pekan terakhir, isu pembantaian junta Militer di Mesir seakan-akan tenggelam dengan adanya pembantaian kimia (Rabu, 21/8) atau serangan senjata kimia di Ghouta yang dilakukan oleh rezim Basyar Asad terhadap rakyatnya yang menelan sedikitnya 1500 orang, dan setengahnya adalah anak-anak.
Penggunaan senjata kimia ini, serentak mendapat kecaman dan kutukan dunia Internasional, misi PBB pun diutus untuk meneliti penggunaan senjata kimia, sementara itu Amerika Serikat melalui Kemenlu Jhon Kerry memastikan rezim Basyar Asad bertanggung jawab atas serangan kimia tersebut.

Secara cepat, pergerakan diplomasi dan konsolidasi cepat dilakukan oleh Amerika dengan mengumpulkan pemimpin militer dari 10 negara di Yordania untuk membahas nasib Suriah, pertemuan malam Ahad (24/8) menghadirkan Ketua Kepala Staf militer Gabungan AS Jenderal Martin Dempsey, dan kepala Staf militer di Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, Arab Saudi, Qatar dan Turki, mereka membahas dampak dari krisis Suriah, terutama setelah terjadi pembantaian kimia di Damaskus.

Kapal Induk Amerika langsung dikonsentrasikan di laut Mediterania dan pernyataan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel, Sabtu lalu mengatakan bahwa militer AS siap melakukan aksi militer untuk menangani krisis Suriah jika presiden Obama memutuskan demikian.

Sementara Rusia dan Iran yang menjadi sekutu utama rezim Suriah, memperingatkan AS dan sekutunya agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan secara tegas Iran menyebut serangan terhadap Suriah adalah garis merah, yang jika AS menyerang Suriah maka akan berdampak apda Gedung Putih. Rusia sendiri langsung mengirimkan dua kapal lautnya ke laut Mediterania melihat pergerakan militer Amerika dan sekutunya yang akan menyerang rezim Suriah. Dunia diambang perang dunia ketika.

Namun yang menarik untuk diteliti apa penyebab dan tujuan dari penyerangan yang kabarnya akan dilancarkan dalam hitungan beberapa jam atau beberapa hari lagi, apakah benar AS dan dunia Barat ingin menyerang Suriah karena tergerak oleh nurani kemanusiaan atas pembantaian kimia yang dilakukan rezim Basyar Asad terhadap wanita dan anak-anak saat sedang terlelap tidur?

Yasir Zaatirah, seorang kolumnis Aljazeera menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa dapat dipastikan AS dan Barat tidak digerakkan kerena penggunaan senjata kimia oleh Basyar Asad terhadap rakyatnya. Jika seandainya yang menggerakkan AS dan Barat adalah permasalahan akhlak dan nurani, maka kematian ratusan ribu jiwa rakyat Suriah sudah cukup menjadi alasan AS dan Barat untuk menyerang rezim Basyar Asad.

Menurut Yasir Zaatirah yang menggerakan Amerika mengambil keputusan akan menyerang Suriah adalah permintaan Israel dengan melihat realitas yang terjadi saat ini.

Lalu apa dan dimana peran strategis Israel dibalik pergerakan militer Barat dan didukung oleh beberapa negara teluk ini? Sebelum menjawab ini, kita perlu mengetahui kepentingan Israel di Suriah, berikut beberapa kepentingan strategis Israel di Suriah;

Suriah sendiri dalam perspektif Israel tak kalah strategisnya dengan Mesir, baik secara geografi maupun geo-politik, sebagaimana Israel telah mengerahkan segala usahanya untuk menggagalkan revolusi Mesir 25 Januari serta mempertahankan rezim Mubarak, begitupun revolusi di Suriah, dengan pertimbangan strategis keamanan nasional dan masa depan Israel, maka tidak ada pilihan bagi Israel selain mempertahankan rezim berkuasa saat ini di Suriah. Secara singkat, setidaknnya ada bebarapa alasan strategis Isreal ingin mempertahankan rezim Basyar Asad di Suriah. Alasan strategis tersebut sebagai berikut:

1. Batas antara Israel dan Suriah kini ini, adalah batas yang paling tenang dibandingkan dengan batas-batas lain bersama negara-negara Arab lainnya.

2. Rezim Suriah merupakan model rezim Arab yang Israel secara jelas berhasil melakukan pencegahan pembalasan kepada Israel, sebagai bukti, rezim ini tidak berusaha membalas provokasi Israel saat membombardir pasilitas riset nuklir Suriah di Utara Suriah akhir tahun 2006, juga tindakan Mossad yang membunuh sejumlah petinggi program nuklir Suriah, serta membunuh komandan bersenjata Hizbullah Imad Mughniyeh.

3. Jatuhnya Rezim saat ini berarti bahaya naiknya kelompok Islam, lebih-lebih Kelompok Ikhwanul Muslimin, yang dianggap sebagai kelompok oposisi yang paling teroganisir, dan ini akan merubah skenario strategis Israel di Kawasan, keberhasilan revolusi Mesir sudah cukup membuat Israel rugi secara ekonomi dan keteteran harus memformat ulang kebijakan-kebijakannya di Timur Tengah, dan jika revolusi Suriah sukses ini akan semakin mengisolasi dan menekan Israel di kawasan.

4. Keruntuhan rezim akan menyebabkan hilangnya stabilitas keamanan di kawasan, yang bisa jadi akan mengantar pada perang  yang tidak dihendaki oleh Israel. Sebagaimana terjadi tahun 1967, salah satu penyebab terjadinya perang karena tidak ada stabilitas di Suriah.

5. Jika rezim jatuh, maka akan ada bahaya yang mengancam yaitu kemampuan kelompok-kelompok "yang tidak bertanggung jawab" menguasai gudang bersenjata militer Suriah, lebih khusus gudang roket Suriah, yang bisa mencapai seluruh kota Israel dan yang menambah kekhawatiran Isreal, bahwa banyak dari roket-roket tersebut dilengkapi dengan hulu ledak kimia.

8. Kekhawatiran jika rezim Asad jatuh akan berakibat negatif bagi stabilitas rezim pemerintahan di Yordania yang dianggap sebagai sekutu Israel paling dipercaya di kawasan, kajatuhannya akan mengancam eksisetensi Isreal. karena peran Yordania dalam menjaga perbatasan yang memisahkan antara Yordania dari Palestina, yang untuk menjaganya butuh dana besar untuk mengerahkan pasukan infanteri Israel untuk melaksanakan tugas ini, saat tidak ada kerjasama dengan Yordania.

Menjawab pertanyaan apa dan dimana peran strategis Israel dibalik pergerakan militer Barat dan didukung oleh beberapa negara teluk ini  untuk menyerang Suriah? Mari kita melihat beberapa point penting berikut;

1. Walaupun perang di Suriah belum menampakkan hasil terakhirnya, namun revolusioner semakin maju walau lambat, kekuatan revolusi yang didominasi kelompok jihadi semakin meningkat,  dan ini menjadi ancaman besar ketika rezim Basyar Asad runtuh begitu juga munyebarnya kekacauan yang tak dapat dibendung atau ketika kelompok-kelompok ini juga menguasai sebagian besar lokasi di Suriah, yang saat ini telah menguasai 60% bumi Syam. Di sini jelas ada kepentingan Israel untuk menghancurkan sebagian gudang senjata kimia, karena kekhwatiran senjata-senjata kimia ini jatuh ke tangan kelompok-kelompok yang tidak bisa dikontrol.

2. Serangan Amerika ini ditegaskan oleh obama adalah terbatas di sini, kemungkinan besar adalah tempat-tempat strategis penyimpangan senjata dan senjata kimia. Tujuannya agar senjata berat ini dan senjata kimia tidak jatuh ke tangan revolusioner yang tidak mampu dikontrol.

3. Sasaran-sasarangan serangan ini ditentukan oleh Israel yang diinginkan oleh Israel untuk dihancurkan, karena sumber imformasi utama bagi Amarika dan Barat adalah intelejen Israel, Mossad.

4. Sebagian sasaran-sasaran tersebut adalah lokasi-lokasi kelompok mujahidin tujuannya untuk melemahkan kekuatan pejuang oposisi, jika pada operasi serangan kali ini juga mencakup wilayah bagian Utara dan Selatan yang mayoritasnya dikuasai oleh revolusioner.

5. Pernyataan Obama yang menyatakan bahwa serangan bukan untuk menggulingkan basyar Asad, atau melemahkannya.

6. Mengenai penggulingan rezim di Suriah, yang mengikuti perkembangan di koran-koran Israel dan sebagian reaksi dan isyarat-isyarat resmi Israel bahwa ada kesepakatan di antara mereka agar serangan tidak untuk menjatuhkan rezim di Damasqus dan ini juga dikuatkan dengan peryataan obama yang dilansir di Aljazeera dan dikutip Islamicgeo, bahwa serangan bukan untuk menggulingkan Basyar Asad atau melemahkannya karena hal ini bukanlah solusi menyelesaikan masalah di Suriah, menurut Obama.

7. Namun lebih penting dari itu adalah sekedar "hukuman" ini menurut sebagian pengamat di Israel begitu juga menurut petinggi Amerika Serikat yang dikutip Washington Post, bahkan sebagai sumber Israel menyebutkan bahwa serangan ini sekedar "simbol".

Kesimpulan dari point di atas bahwa serangan yang akan dilancarkan Amerika dan sekutunya adalah serangan terbatas, dan tempat-tempat yang akan diserang nantinya telah ditentukan oleh Israel sebagia pusat informasi bagi Amerika, dan penyerangan kali ini bukanlah untuk menggulingkan rezim Basyar Asad atau melemahkannya, dan penyerangan lokasi-lokasi rezim Basyar Asad sekedar simbol untuk menutupi serangan yang sebenarnya yaitu lokasi-lokasi mujahidin dan pejuang oposisi.

Beberapa hari lalu penulis mendapat informasi dari teman Arab yang juga dapat informasi dari temannya yang mengikuti perkembangan dan berita di Amerika menyebutkan tahapan penyerangan Amerika Serikat bahwa Serangan pertama akan menyerang target-target strategis gudang senjata milik rezim Basyar Asad, di antaranya; Sistem radar, sistem pertahanan udar, pabrik pembuat senjata kimia, gudang rudal Scud.
Kemudian serangan kedua Amerika, yaitu; Tempat latihan militer mujahidin Suriah, pemimpin ring 1 dan ring dua dari kelompok Jihad.

Untuk menutupi serangan ini, maka terakhir Amerika juga akan menyerang sebagian lokasi rezim Basyar Asad di wilayah-wilayah yang tenang, yang tidak menguntungkan revolusi, serangan-serang yang diprediksi ke beberapa lokasi di antaranya; Pelabuhan Thartus, Istana Presiden yang sudah ditinggalkan Basyar Asad, tokoh-tokoh Suriah untuk membuat penggelembungan media menutupi target serangan brigade mujahidin.

Jika perang sangat erat kaitannya dengan politik transaksioal, siapa yang paling diuntungkan dibalik perang ini, maka sangat jelas bahwa kampanye perang yang digalakkan oleh Amerika dan Barat tak lain, selain kampanye untuk memperjuangkan kepentingan Israel yang juga menjadi kepentingan Amerika di Timur Tengah. Dunia diarahkan untuk mengikuti dan memperjuangkan kepentingan mereka dan bisa jadi menjadi awal dari perang dunia ketiga.

Lalu apa di mana peran Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia? Sebagai negara yang memiliki politik luar negeri yang bebas aktif, negara yang prinsip dasarnya adalah menciptakan perdamaian dunia dan anti terhadap segala bentuk penjajahan.

Kiranya, Presiden Indonesia SBY perlu kembali membaca sejarah pendahulunya ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno memprakarsai Gerakan non-blok sebagai reaksi atas memuncaknya ketegangan blok Barat dan Timur. Agar Indonesia ikut berperan aktif dalam mencari solusi terbaik dalam rangka menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Wallahu A’lam.
 

Muhammad Anas









Referensi;
http://sejarahindonesiaa.blogspot.com/2013/02/perkembangan-gerakan-non-blok-gnb-dan.html