Transformasi demokrasi yang terjadi di Timur Tengah
dengan adanya Arab Spring, adalah tuntutan utama bangsa (rakyat) Arab untuk
mewujudkan kebangkitan Arab yang akan mengubah timbangan kekuatan yang ada di
Timur Tengah dan ini sama sekali tidak menguntungkan kepentingan Zionis Israel
dan Amerika di Timur Tengah.
Maka berbagai upaya dilakukan untuk menggagalkan
transformasi demokrasi di Timur Tengah khususnya di Mesir dan Suriah, dua
negara yang menjadi sekutu strategis Israel sepanjang beberapa dekade terakhir.
Baik karena peran strategis yang dimainkan oleh dua negara ini, juga karena
secara geograpis dua negara ini yang langsung berbatasan dengan Israel. Maka
berapapun harga yang harus dibayar dua negara ini harus tunduk pada kebijakan
dan kepentingan Israel dan Amerika.
Dua Negara ini, Mesir dan Suriah juga memiliki sejarah
perjuangan pembebasan Palestina dan Al-Aqsa dari tangan penjajah Salibis dan
musuh Islam, baik pada masa Salahuddin Al-Ayubi yang berhasil membebaskan Mesir
dari pengaruh dinasti Syiah Fatimiyah (Para sejarawan muslim lebih memilih
penggunaan penyebutan dinasti Fatimiyah sebagai dinasti Ubaidiyah, dinisbatkan
kepada pendiri dinasti Syiah di Mesir yaitu Abu Abdillah Ubaidillah, penggunaan
dinasti Fatimiyah kurang tepat karena dinistbatkan ke keturunan Rasulullah
Saw., yaitu Fatimah r.a), setelah Salahuddin berhasil membebaskan Mesir dari
pengaruh Syiah di Mesir, Salahuddin lalu menyatukan Mesir dan Suriah (saat itu
bernama Syam), lalu kemudian terjadilah perang pembebasan Palestina dan Al-Quds
dari tangan tentara Salib. Dan skenario sejarah ini yang kita harapkan kembali
terjadi, Mesir dan Suriah dikuasai oleh
pejuang revolusi dan bersatu membebaskan Palestina dari cengkraman Zionisme.
Peran Israel Membantu Junta Militer dalam Pembantaian
Demonstran Damai
Kembali membahas situasi yang terjadi di Mesir, pasca pembantaian demonstrasi damai di Rabaa
dan Nahdah Squera serta tempat lainnya di Mesir yang menelan ribuan jiwa dan
puluhan ribu luka-luka, Yossi Melmen seorang kolumnis Haaretz dan Jerusalem
Post pada tanggal 15/8 sehari pasca pembantaian di Rabaa, ia membeberkan peran
strategi Israel yang membantu Abdul Fattah El-Sisi melakukan pembantaian demonstrasi
damai tersebut, dalam artikelnya Yossi Melmen menulis;
“Dari perspektif diplomatik dan militer, Israel mengikuti
perkembangan yang terjadi di Mesir dengan penuh kekhwatiran, Israel menyadari
peran membantu militer Mesir menjadi terbatas setelah peristiwa kemarin
(Pembantaian), namun kalau kita perhatikan dengan teliti, Israel memiliki
kekuatan untuk membantu militer Mesir melalui peran diplomatik yang dimainkan
Israel baik di Washington maupun di kota-kota Eropa, untuk menenangkan
pemerintahan kota-kota Eropa dan Washington, agar tidak cepat mengutuk operasi
militer Mesir yang membubarkan dan mengosongkan lapangan Mesir dari demonstrans
Ikhwanul Muslimin di Kairo dan kota-kota lainnya.
Sejak dewan militer mengambil alih kekuasaan dibawa
kepemimpinan Jenderal Abdul Fattah El-Sisi yang menggulingkan presiden
pemerintahan Islami Muhammad Mursi sejak
enam minggu lalu. Pemerintahan Israel
bekerja rahasia dan dibantu oleh sahabat-sahabatnya, menggunakan
kemampuan diplomasi dan sumber-sumber pengaruh lainya, agar negara-negara
Barat, khususnya Amerika Serikat tidak
mengutuk penggunaan kekuatan oleh militer Mesir terhadap Ikhwanul Muslimin,
Israel berperan penting untuk menenangkan negara-negara Barat agar tidak
menyebut apa yang terjadi di Mesir sebagai "pembantaian"."
Ketakutan Israel adalah bahwa hukuman tersebut akan
melemahkan pemerintah baru Mesir yang
didukung militer karena kecaman internasional, dan akan memperkuat kehendak
Ikhwanul Muslimin untuk melanjutkan perjuangan hingga akhir dan akan menguatkan
sikap penolakannya terhadap solusi politik untuk menangani krisis.”
Dan Israel takut keruntuhan perjanjian Cam David dengan
terjadinya dua kondisi yang tidak diinginkan, pertama runtuhnya kekuasaan
militer di Mesir, kedua memburuknya situasi di Mesir hingga terjadi perang
saudara.
Inilah peran stategis Israel yang menjadi dalang dari
krisis yang terjadi di Mesir, negara yang menjadi sekutu paling stategis bagi
Israel selama pemerintahan presiden terguling Husni Mubarak.
Zionis juga sangat menyadari ujung bencana kudeta Sisi
dan pembantaiannya serta dampaknya terhadap masa depan Musim Semi Arab, yang
tersandung di Suriah dan Mesir.
Kesaksian ini disampaikan oleh Ihzakil Dror, yang
dijuluki bapak pemikir strategis Zionis, dan dikutip oleh Dr. Nu'mani pakar
Zionis: "Pentingnya kudeta yang dilakukan oleh Sisi tidak terletak dalam
penghapusan kelompok ekstremis seperti Ikhwanul Muslimin, tetapi langkah ini sebagai paku terakhir dalam peti
mati transformasi demokrasi yang mulai meledakkan revolusi transformasi
demokrasi, dan perubahan ini menjadi sangat penting bagi kami, karena tuntutan
transformasi demokrasi adalah salah satu tuntutan utama untuk mewujudkan
kebangkitan Arab yang akan mengubah timbangan kekuatan yang ada yang tidak
mendukung kepentingan kami".
Peran Israel Dibalik Kampanye Serangan Amerika ke Suriah
Kini beberapa pekan terakhir, isu pembantaian junta
Militer di Mesir seakan-akan tenggelam dengan adanya pembantaian kimia (Rabu,
21/8) atau serangan senjata kimia di Ghouta yang dilakukan oleh rezim Basyar
Asad terhadap rakyatnya yang menelan sedikitnya 1500 orang, dan setengahnya
adalah anak-anak.
Penggunaan senjata kimia ini, serentak mendapat kecaman
dan kutukan dunia Internasional, misi PBB pun diutus untuk meneliti penggunaan
senjata kimia, sementara itu Amerika Serikat melalui Kemenlu Jhon Kerry
memastikan rezim Basyar Asad bertanggung jawab atas serangan kimia tersebut.
Secara cepat, pergerakan diplomasi dan konsolidasi cepat
dilakukan oleh Amerika dengan mengumpulkan pemimpin militer dari 10 negara di
Yordania untuk membahas nasib Suriah, pertemuan malam Ahad (24/8) menghadirkan
Ketua Kepala Staf militer Gabungan AS Jenderal Martin Dempsey, dan kepala Staf
militer di Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Kanada, Arab Saudi, Qatar dan
Turki, mereka membahas dampak dari krisis Suriah, terutama setelah terjadi
pembantaian kimia di Damaskus.
Kapal Induk Amerika langsung dikonsentrasikan di laut
Mediterania dan pernyataan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel, Sabtu lalu
mengatakan bahwa militer AS siap melakukan aksi militer untuk menangani krisis
Suriah jika presiden Obama memutuskan demikian.
Sementara Rusia dan Iran yang menjadi sekutu utama rezim
Suriah, memperingatkan AS dan sekutunya agar tidak mengulangi kesalahan masa
lalu dan secara tegas Iran menyebut serangan terhadap Suriah adalah garis
merah, yang jika AS menyerang Suriah maka akan berdampak apda Gedung Putih.
Rusia sendiri langsung mengirimkan dua kapal lautnya ke laut Mediterania
melihat pergerakan militer Amerika dan sekutunya yang akan menyerang rezim
Suriah. Dunia diambang perang dunia ketika.
Namun yang menarik untuk diteliti apa penyebab dan tujuan
dari penyerangan yang kabarnya akan dilancarkan dalam hitungan beberapa jam
atau beberapa hari lagi, apakah benar AS dan dunia Barat ingin menyerang Suriah
karena tergerak oleh nurani kemanusiaan atas pembantaian kimia yang dilakukan
rezim Basyar Asad terhadap wanita dan anak-anak saat sedang terlelap tidur?
Yasir Zaatirah, seorang kolumnis Aljazeera menjawab
pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa dapat dipastikan AS dan Barat tidak
digerakkan kerena penggunaan senjata kimia oleh Basyar Asad terhadap rakyatnya.
Jika seandainya yang menggerakkan AS dan Barat adalah permasalahan akhlak dan
nurani, maka kematian ratusan ribu jiwa rakyat Suriah sudah cukup menjadi
alasan AS dan Barat untuk menyerang rezim Basyar Asad.
Menurut Yasir Zaatirah yang menggerakan Amerika mengambil
keputusan akan menyerang Suriah adalah permintaan Israel dengan melihat
realitas yang terjadi saat ini.
Lalu apa dan dimana peran strategis Israel dibalik
pergerakan militer Barat dan didukung oleh beberapa negara teluk ini? Sebelum
menjawab ini, kita perlu mengetahui kepentingan Israel di Suriah, berikut
beberapa kepentingan strategis Israel di Suriah;
Suriah sendiri dalam perspektif Israel tak kalah
strategisnya dengan Mesir, baik secara geografi maupun geo-politik, sebagaimana
Israel telah mengerahkan segala usahanya untuk menggagalkan revolusi Mesir 25
Januari serta mempertahankan rezim Mubarak, begitupun revolusi di Suriah,
dengan pertimbangan strategis keamanan nasional dan masa depan Israel, maka
tidak ada pilihan bagi Israel selain mempertahankan rezim berkuasa saat ini di
Suriah. Secara singkat, setidaknnya ada bebarapa alasan strategis Isreal ingin
mempertahankan rezim Basyar Asad di Suriah. Alasan strategis tersebut sebagai
berikut:
1. Batas antara Israel dan Suriah kini ini, adalah batas
yang paling tenang dibandingkan dengan batas-batas lain bersama negara-negara
Arab lainnya.
2. Rezim Suriah merupakan model rezim Arab yang Israel
secara jelas berhasil melakukan pencegahan pembalasan kepada Israel, sebagai
bukti, rezim ini tidak berusaha membalas provokasi Israel saat membombardir
pasilitas riset nuklir Suriah di Utara Suriah akhir tahun 2006, juga tindakan
Mossad yang membunuh sejumlah petinggi program nuklir Suriah, serta membunuh
komandan bersenjata Hizbullah Imad Mughniyeh.
3. Jatuhnya Rezim saat ini berarti bahaya naiknya
kelompok Islam, lebih-lebih Kelompok Ikhwanul Muslimin, yang dianggap sebagai
kelompok oposisi yang paling teroganisir, dan ini akan merubah skenario
strategis Israel di Kawasan, keberhasilan revolusi Mesir sudah cukup membuat
Israel rugi secara ekonomi dan keteteran harus memformat ulang kebijakan-kebijakannya
di Timur Tengah, dan jika revolusi Suriah sukses ini akan semakin mengisolasi
dan menekan Israel di kawasan.
4. Keruntuhan rezim akan menyebabkan hilangnya stabilitas
keamanan di kawasan, yang bisa jadi akan mengantar pada perang yang tidak dihendaki oleh Israel. Sebagaimana
terjadi tahun 1967, salah satu penyebab terjadinya perang karena tidak ada
stabilitas di Suriah.
5. Jika rezim jatuh, maka akan ada bahaya yang mengancam
yaitu kemampuan kelompok-kelompok "yang tidak bertanggung jawab"
menguasai gudang bersenjata militer Suriah, lebih khusus gudang roket Suriah,
yang bisa mencapai seluruh kota Israel dan yang menambah kekhawatiran Isreal,
bahwa banyak dari roket-roket tersebut dilengkapi dengan hulu ledak kimia.
8. Kekhawatiran jika rezim Asad jatuh akan berakibat
negatif bagi stabilitas rezim pemerintahan di Yordania yang dianggap sebagai
sekutu Israel paling dipercaya di kawasan, kajatuhannya akan mengancam
eksisetensi Isreal. karena peran Yordania dalam menjaga perbatasan yang
memisahkan antara Yordania dari Palestina, yang untuk menjaganya butuh dana
besar untuk mengerahkan pasukan infanteri Israel untuk melaksanakan tugas ini,
saat tidak ada kerjasama dengan Yordania.
Menjawab pertanyaan apa dan dimana peran strategis Israel
dibalik pergerakan militer Barat dan didukung oleh beberapa negara teluk
ini untuk menyerang Suriah? Mari kita
melihat beberapa point penting berikut;
1. Walaupun perang di Suriah belum menampakkan hasil
terakhirnya, namun revolusioner semakin maju walau lambat, kekuatan revolusi
yang didominasi kelompok jihadi semakin meningkat, dan ini menjadi ancaman besar ketika rezim
Basyar Asad runtuh begitu juga munyebarnya kekacauan yang tak dapat dibendung
atau ketika kelompok-kelompok ini juga menguasai sebagian besar lokasi di
Suriah, yang saat ini telah menguasai 60% bumi Syam. Di sini jelas ada
kepentingan Israel untuk menghancurkan sebagian gudang senjata kimia, karena
kekhwatiran senjata-senjata kimia ini jatuh ke tangan kelompok-kelompok yang
tidak bisa dikontrol.
2. Serangan Amerika ini ditegaskan oleh obama adalah
terbatas di sini, kemungkinan besar adalah tempat-tempat strategis penyimpangan
senjata dan senjata kimia. Tujuannya agar senjata berat ini dan senjata kimia
tidak jatuh ke tangan revolusioner yang tidak mampu dikontrol.
3. Sasaran-sasarangan serangan ini ditentukan oleh Israel
yang diinginkan oleh Israel untuk dihancurkan, karena sumber imformasi utama
bagi Amarika dan Barat adalah intelejen Israel, Mossad.
4. Sebagian sasaran-sasaran tersebut adalah lokasi-lokasi
kelompok mujahidin tujuannya untuk melemahkan kekuatan pejuang oposisi, jika
pada operasi serangan kali ini juga mencakup wilayah bagian Utara dan Selatan
yang mayoritasnya dikuasai oleh revolusioner.
5. Pernyataan Obama yang menyatakan bahwa serangan bukan
untuk menggulingkan basyar Asad, atau melemahkannya.
6. Mengenai penggulingan rezim di Suriah, yang mengikuti
perkembangan di koran-koran Israel dan sebagian reaksi dan isyarat-isyarat
resmi Israel bahwa ada kesepakatan di antara mereka agar serangan tidak untuk
menjatuhkan rezim di Damasqus dan ini juga dikuatkan dengan peryataan obama
yang dilansir di Aljazeera dan dikutip Islamicgeo, bahwa serangan bukan untuk
menggulingkan Basyar Asad atau melemahkannya karena hal ini bukanlah solusi
menyelesaikan masalah di Suriah, menurut Obama.
7. Namun lebih penting dari itu adalah sekedar
"hukuman" ini menurut sebagian pengamat di Israel begitu juga menurut
petinggi Amerika Serikat yang dikutip Washington Post, bahkan sebagai sumber
Israel menyebutkan bahwa serangan ini sekedar "simbol".
Kesimpulan dari point di atas bahwa serangan yang akan
dilancarkan Amerika dan sekutunya adalah serangan terbatas, dan tempat-tempat
yang akan diserang nantinya telah ditentukan oleh Israel sebagia pusat
informasi bagi Amerika, dan penyerangan kali ini bukanlah untuk menggulingkan
rezim Basyar Asad atau melemahkannya, dan penyerangan lokasi-lokasi rezim
Basyar Asad sekedar simbol untuk menutupi serangan yang sebenarnya yaitu
lokasi-lokasi mujahidin dan pejuang oposisi.
Beberapa hari lalu penulis mendapat informasi dari teman
Arab yang juga dapat informasi dari temannya yang mengikuti perkembangan dan
berita di Amerika menyebutkan tahapan penyerangan Amerika Serikat bahwa
Serangan pertama akan menyerang target-target strategis gudang senjata milik
rezim Basyar Asad, di antaranya; Sistem radar, sistem pertahanan udar, pabrik
pembuat senjata kimia, gudang rudal Scud.
Kemudian serangan kedua Amerika, yaitu; Tempat latihan
militer mujahidin Suriah, pemimpin ring 1 dan ring dua dari kelompok Jihad.
Untuk menutupi serangan ini, maka terakhir Amerika juga
akan menyerang sebagian lokasi rezim Basyar Asad di wilayah-wilayah yang
tenang, yang tidak menguntungkan revolusi, serangan-serang yang diprediksi ke
beberapa lokasi di antaranya; Pelabuhan Thartus, Istana Presiden yang sudah
ditinggalkan Basyar Asad, tokoh-tokoh Suriah untuk membuat penggelembungan
media menutupi target serangan brigade mujahidin.
Jika perang sangat erat kaitannya dengan politik
transaksioal, siapa yang paling diuntungkan dibalik perang ini, maka sangat
jelas bahwa kampanye perang yang digalakkan oleh Amerika dan Barat tak lain,
selain kampanye untuk memperjuangkan kepentingan Israel yang juga menjadi
kepentingan Amerika di Timur Tengah. Dunia diarahkan untuk mengikuti dan
memperjuangkan kepentingan mereka dan bisa jadi menjadi awal dari perang dunia
ketiga.
Lalu apa di mana peran Indonesia sebagai negara muslim
terbesar di dunia? Sebagai negara yang memiliki politik luar negeri yang bebas
aktif, negara yang prinsip dasarnya adalah menciptakan perdamaian dunia dan
anti terhadap segala bentuk penjajahan.
Kiranya, Presiden Indonesia SBY perlu kembali membaca
sejarah pendahulunya ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno
memprakarsai Gerakan non-blok sebagai reaksi atas memuncaknya ketegangan blok
Barat dan Timur. Agar Indonesia ikut berperan aktif dalam mencari solusi
terbaik dalam rangka menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Wallahu A’lam.
Muhammad Anas
Referensi;
http://rassd.com/22-69862.htm http://www.islamicgeo.com/2011/10/revolusi-suriah-hadapi-konspirasi.html
http://sejarahindonesiaa.blogspot.com/2013/02/perkembangan-gerakan-non-blok-gnb-dan.html