Militer Mesir kembali
melakukan kekerasan terhadap warganya hingga berjatuhan korban tak sedikit.
Pemerintah Indonesia harus turut bersuara keras terhadap pelanggaran HAM yang
terjadi di negeri piramida tersebut.
Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq meminta pemerintah
Indonesia tidak tinggal diam terhadap peristiwa yang terjadi di Mesir. Sebagai
negara muslim terbesar di dunia, Indonesia harus berperan lebih aktif lagi di
dunia internasional.
"Indonesia mesti bersuara keras. Jangan diam.
Presiden SBY harus di baris depan menyikapi masalah ini," ujar Mahfudz
dalam pernyataan resminya melalui jejaring sosial Twitter, Rabu (14/8/2013).
Menurutnya, jika pemerintah Indonesia melalui Presiden
SBY tidak bersikap tegas terhadap pembantaian di Mesir, itu artinya diam-diam
pemerintah memberikan dukungan terhadap kudeta rezim militer yang
menjungkirbalikkan hasil pemilu demokratis Mesir.
Dan Bali Democracy Forum yang digagas Indonesia selama
ini lanjut dia, hanyalah etalase mewah untuk panggung retorika para kepala
negara.
Dia mengatakan pemerintah Indonesia tidak cukup hanya
menyatakan keprihatinan dan seruan penghentian kekerasan bersenjata. Sikap ini
tidak clear. Apalagi sikap itu baru sebatas di level menteri luar negeri. Ini
persolan sangat serius sehingga harus level Presiden yang angkat bicara.
Sikap tegas, keras dan konkrit Indonesia harus clear,
alasannya adalah penyelamatan demokrasi dan kemanusiaan di Mesir.
"Indonesia sebagai negara muslim demokratis terbesar
di dunia sangat ditunggu sikap dan peran konkritnya saat ini," cetusnya.
"Indonesia harus segera ambil inisiatif konkrit
misalnya bersama Turki, dan mendesak peran forum multilateral untuk bereaksi
konkrit," tegas Mahfudz.
Komisi I DPR menurut Mahfudz juga mengutuk pembantaian
brutal terhadap rakyat sipil Mesir oleh pihak militer. Penguasa Mesir juga
harus dikutuk oleh dunia, karena ini bentuk penodaan nyata terhadap demokrasi
dan hak asasi manusia.
Pembantaian ini pelanggaran HAM berat yang juga harus
direspons oleh komisi HAM PBB dan pengadilan kriminal internasional. "Ini
bisa menjadi pola menular di negara-negara lain yang alami The Arab
Spring," pungkas Mahfudz.[kbr/MS/im]