Minggu, 09 Juni 2013

NU dan Muhammadiyah: Semangat Kemurnian Aqidah Bangsa Indonesia

NU dan Muhammadiyah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keutuhan negara Republik Indonesia. Mereka telah setia menemani perjuangan bangsa dalam semua dinamika sejarah dan politik yang telah dan sedang dilalui. Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 dan NU pada tahun 1926 telah teruji sebagai organisasi berbasis keagamaan (Islam) yang bertahan melalui kerasnya sejarah.

Seiring berlalunya waktu, kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tidak jarang mengalami benturan-benturan. Malah dalam beberapa kesempatan, kedua organisasi ini tidak jarang dihadapkan kepada situasi yang “dibenturkan” oleh beberapa pihak. Sehingga ketegangan-ketegangan primordialistis kalangan bawah dengan basis keorganisasian ini tidak bisa dielakkan. Hal ini pun diperparah oleh beberapa elit organisasi yang membenturkan dan menghadapkan Muhammadiyah dan NU dalam tataran intelektual. Tidak jarang Muhammadiyah dan NU dibanding-bandingkan dalam beberapa literatur keorganisasian, sehingga  polemik ini semakin lama semakin mengkristal.

Pertanyaannya kemudian, apakah NU dan Muhammadiyah begitu berbeda sehingga sering berbenturan? Mengapa ketika seseorang (atau subjek) yang telah berkaitan dengan NU seolah-olah selalu bertentangan dengan Muhammadiyah, atau sebaliknya?

Jika kita melihat perkembangan sejarah, sikap politik serta perjuangan NU dan Muhammadiyah, jelas kita akan mendapatkan dua organisasi yang memiliki corak yang berbeda. Dalam tatanan aksi dan produk organisasi, kedua organisasi ini hampir tidak pernah sejalan. Untuk itulah kita perlu melihat NU dan Muhammadiyah dalam tatanan konstruksi ideologi kedua organisasi, bukan produk ideologinya. Dalam bahasa yang lebih singkat, kita perlu melihat rancangan bangunannya, bukan bentuk bangunannya.

Bagaimana kita melihat konstruksi Muhammadiyah dan NU? Muhammadiyah dibentuk oleh K.H Ahmad Dahlan sebagai organisasi pembaharu, dengan tujuan untuk memurnikan aqidah umat Islam yang telah dimulai sejak era Wali Songo. Karena semangat pembaharuan inilah gerakan-gerakan Muhammadiyah (setidaknya dalam hal fiqh) cenderung bersifat puritan, kaku, dan tanpa kompromi. Dalam menyikapi jiarah kubur misalnya, Muhammadiyah cenderung menghindarinya demi kepentingan kemurnian aqidah. Sehingga amalan-amalan yang bersangkutan dengan ahli kubur dipandang sebagai hal bid’ah, tidak berdasar dan mengada-ada.

NU dengan tokoh utamanya K.H. Hasyim Asy’ari, bersikap lebih toleran dan membumi. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan NU yang menampilakan wajah Islam yang dinamis dan fleksibel. Sehingga dalam menanggapi jiarah kubur misalnya, NU tidak serta merta menghindarinya atau bahkan melarangnya. NU cenderung bersikap akomodatif dengan memperbolehkan tawassul (beserta ketentuan-ketentuannya), dan memperkenalkan teori-teori istinbath yang lebih fleksibel seperti istihsan dan urf.

Jika kita berkutat pada produk fiqh kedua organisasi ini, maka perpecahan tidak bisa dielakkan. Karena yang satu menganjurkan jiarah kubur, yang satu tidak. Yang satu melarang tahlilan, yang satu tidak, dan begitu seterusnya. Padahal keduanya berangkat dari semangat yang sama: memurnikan aqidah.

Jika ditanya apakah NU dan Muhammadiyah memperbolehkan umat Islam meminta-minta kepada kubur? Jawabannya sudah pasti tidak. Namun solusi yang diberikan berbeda, yang satu melarang meminta sama sekali (meskipun ahli kubur dikenal dengan kesalehannya), yang satu lagi memperkenalkan tawassul, sehingga hakikatnya kita bukan meminta kepada ahli kubur, tapi kepada Sang Pemilik yaitu Alloh SWT.

Jika sudah begini bukankah tujuan kedua organisasi ini sama: Menggapai keridloan Alloh dengan memurnikan aqidah? Lalu apakah kita akan terus memperdebatkan jalan yang ditempuh, atau mulai menyadari kesamaan tujuan?

Corak NU dan Muhammadiyah memberikan kemajuan luar biasa dalam konteks ke-Islaman di Indonesia. Sikap yang cenderung fundamentalistis dan puritan dalam hal fiqh pada diri Muhammadiyah telah membawa Muhammadiyah pada kemajuan yang luar biasa dalam hal amal usaha organisasi. Warga Muhammadiyah tidak disibukkan oleh permasalahan-permasalahan fiqhiyyah sehingga kita bisa melihat amal usaha yang menjamur, mulai dari rumah sakit, perguruan tinggi, hingga sekolah-sekolah pada tingkat dasar dan menengah.

Begitupun warga NU dengan kekayaan khazanah fiqhiyyah-nya telah mengantarkan Islam Indonesia kepada dinamika literatur fiqh yang luar biasa, sehingga Islam Indonesia mampu menunjukkan coraknya tersendiri namun bisa dipertanggunjawabkan secara ilmiah dan komprehensif tanpa menghilangkan kemurnian aqidahnya. Sebuah Islam yang membumi, yang diterima oleh banyak kalangan di Indonesia sehingga NU menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Lalu, apakah kita akan terus berdebat mengenai jalan yang ditempuh atau mulai merapatkan diri dan menentukan arah bangsa yang sesuai dengan tujuan awal didirikannya kedua organisasi ini: kemurnian aqidah?

Oleh: Angga Sugih Pragina

http://www.suaranews.com