NU dan Muhammadiyah sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keutuhan
negara Republik Indonesia. Mereka telah setia menemani perjuangan bangsa
dalam semua dinamika sejarah dan politik yang telah dan sedang dilalui.
Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 1912 dan NU pada tahun 1926 telah
teruji sebagai organisasi berbasis keagamaan (Islam) yang bertahan
melalui kerasnya sejarah.
Seiring berlalunya waktu, kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia
ini tidak jarang mengalami benturan-benturan. Malah dalam beberapa
kesempatan, kedua organisasi ini tidak jarang dihadapkan kepada situasi
yang “dibenturkan” oleh beberapa pihak. Sehingga ketegangan-ketegangan
primordialistis kalangan bawah dengan basis keorganisasian ini tidak
bisa dielakkan. Hal ini pun diperparah oleh beberapa elit organisasi
yang membenturkan dan menghadapkan Muhammadiyah dan NU dalam tataran
intelektual. Tidak jarang Muhammadiyah dan NU dibanding-bandingkan dalam
beberapa literatur keorganisasian, sehingga polemik ini semakin lama
semakin mengkristal.
Pertanyaannya kemudian, apakah NU dan Muhammadiyah begitu berbeda
sehingga sering berbenturan? Mengapa ketika seseorang (atau subjek) yang
telah berkaitan dengan NU seolah-olah selalu bertentangan dengan
Muhammadiyah, atau sebaliknya?
Jika kita melihat perkembangan sejarah, sikap politik serta perjuangan
NU dan Muhammadiyah, jelas kita akan mendapatkan dua organisasi yang
memiliki corak yang berbeda. Dalam tatanan aksi dan produk organisasi,
kedua organisasi ini hampir tidak pernah sejalan. Untuk itulah kita
perlu melihat NU dan Muhammadiyah dalam tatanan konstruksi ideologi
kedua organisasi, bukan produk ideologinya. Dalam bahasa yang lebih
singkat, kita perlu melihat rancangan bangunannya, bukan bentuk
bangunannya.
Bagaimana kita melihat konstruksi Muhammadiyah dan NU? Muhammadiyah
dibentuk oleh K.H Ahmad Dahlan sebagai organisasi pembaharu, dengan
tujuan untuk memurnikan aqidah umat Islam yang telah dimulai sejak era
Wali Songo. Karena semangat pembaharuan inilah gerakan-gerakan
Muhammadiyah (setidaknya dalam hal fiqh) cenderung bersifat puritan,
kaku, dan tanpa kompromi. Dalam menyikapi jiarah kubur misalnya,
Muhammadiyah cenderung menghindarinya demi kepentingan kemurnian aqidah.
Sehingga amalan-amalan yang bersangkutan dengan ahli kubur dipandang
sebagai hal bid’ah, tidak berdasar dan mengada-ada.
NU dengan tokoh utamanya K.H. Hasyim Asy’ari, bersikap lebih toleran dan
membumi. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari semangat perjuangan NU yang
menampilakan wajah Islam yang dinamis dan fleksibel. Sehingga dalam
menanggapi jiarah kubur misalnya, NU tidak serta merta menghindarinya
atau bahkan melarangnya. NU cenderung bersikap akomodatif dengan
memperbolehkan tawassul (beserta ketentuan-ketentuannya), dan
memperkenalkan teori-teori istinbath yang lebih fleksibel seperti
istihsan dan urf.
Jika kita berkutat pada produk fiqh kedua organisasi ini, maka
perpecahan tidak bisa dielakkan. Karena yang satu menganjurkan jiarah
kubur, yang satu tidak. Yang satu melarang tahlilan, yang satu tidak,
dan begitu seterusnya. Padahal keduanya berangkat dari semangat yang
sama: memurnikan aqidah.
Jika ditanya apakah NU dan Muhammadiyah memperbolehkan umat Islam
meminta-minta kepada kubur? Jawabannya sudah pasti tidak. Namun solusi
yang diberikan berbeda, yang satu melarang meminta sama sekali (meskipun
ahli kubur dikenal dengan kesalehannya), yang satu lagi memperkenalkan
tawassul, sehingga hakikatnya kita bukan meminta kepada ahli kubur, tapi
kepada Sang Pemilik yaitu Alloh SWT.
Jika sudah begini bukankah tujuan kedua organisasi ini sama: Menggapai
keridloan Alloh dengan memurnikan aqidah? Lalu apakah kita akan terus
memperdebatkan jalan yang ditempuh, atau mulai menyadari kesamaan
tujuan?
Corak NU dan Muhammadiyah memberikan kemajuan luar biasa dalam konteks
ke-Islaman di Indonesia. Sikap yang cenderung fundamentalistis dan
puritan dalam hal fiqh pada diri Muhammadiyah telah membawa Muhammadiyah
pada kemajuan yang luar biasa dalam hal amal usaha organisasi. Warga
Muhammadiyah tidak disibukkan oleh permasalahan-permasalahan fiqhiyyah
sehingga kita bisa melihat amal usaha yang menjamur, mulai dari rumah
sakit, perguruan tinggi, hingga sekolah-sekolah pada tingkat dasar dan
menengah.
Begitupun warga NU dengan kekayaan khazanah fiqhiyyah-nya telah
mengantarkan Islam Indonesia kepada dinamika literatur fiqh yang luar
biasa, sehingga Islam Indonesia mampu menunjukkan coraknya tersendiri
namun bisa dipertanggunjawabkan secara ilmiah dan komprehensif tanpa
menghilangkan kemurnian aqidahnya. Sebuah Islam yang membumi, yang
diterima oleh banyak kalangan di Indonesia sehingga NU menjadi
organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Lalu, apakah kita akan terus berdebat mengenai jalan yang ditempuh atau
mulai merapatkan diri dan menentukan arah bangsa yang sesuai dengan
tujuan awal didirikannya kedua organisasi ini: kemurnian aqidah?
Oleh: Angga Sugih Pragina
http://www.suaranews.com