Kamis, 16 Mei 2013

KPK vs PKS: Robohnya Pilar Keempat Demokrasi

28 September 2010. Dalam tajuknya, Koran Tempo menulis judul: Netralitas Siaran Televisi. Koran yang sangat nyinyir dengan Islam itu menyoroti  dua stasiun televisi: TV One dan Metro TV karena dianggap tidak netral dalam pemberitaan  lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam berbagai kesempatan, TV One kerap menayangkan kisah sukses para korban lumpur Lapindo dalam membangun kehidupan baru. Sebaliknya, Metro TV selalu menayangkan soal penduduk yang belum mendapat ganti rugi dari perusahaan eksplorasi minyak dan gas milik keluarga Aburizal Bakrie. Keduanya bertolak belakang.
Koran Tempo menduga munculnya siaran yang aneh ini merupakan dampak persaingan antara Surya Paloh, pemilik Metro TV, dan Aburizal Bakrie, yang menguasai saham TV One. Keduanya saat itu sedang bersaing memperebutkan kursi ketua umum Partai Golkar . Koran Tempo kemudian meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bertindak tegas. Sebab Undang-Undang No. 2/2002 tentang Penyiaran secara jelas mengatur prinsip, antara lain, memberikan informasi yang benar dan seimbang. Bahkan, dalam pasal 36 ayat 4 dengan jelas tertulis: isi siaran wajib dijaga netralitasnya. Mengapa wajib? Berikut kutipan lengkapnya seperti ditulis Koran Tempo: 
”Menegakkan prinsip penyiaran yang adil, netral, dan seimbang amatlah penting demi melindungi publik dari informasi yang menyesatkan. Bayangkan jika semua informasi yang disajikan televisi dibiarkan penuh dengan muatan kepentingan pemilik atau kelompok tertentu. Ini tak hanya akan menjadi beban masyarakat karena mereka harus lebih kritis mengunyahnya, tapi juga menyesatkan.”
Dalam perjalanannya, Koran Tempo dan media lain (detik.com. vivanews.com. kompas.com, media indoensia, dll)  ternyata telah bergabung dengan Metro TV dan TV One dengan memberitakan informasi yang seringkali menyesatkan dan tidak netral ketika menyangkut Islam (umat dan partai Islam). Mau bukti?
1  1. Mengapa Koran Tempo tak sekritis itu saat hampir seluruh stasiun televisi selalu memberitakan terorisme yang dikaitkan dengan Islam. Secara telanjang, bahkan hingga kini, seluruh stasiun televisi hanya menyandarkan beritanya pada sumber sepihak: kepolisian. Tak ada satu pun yang netral. Tak ada satu pun media televisi yang kritis terhadap informasi yang didapat dari kepolisian. Tak ada yang adil dan netral. Mereka mengunyahnya mentah-mentah. Publik pun pada akhirnya memiliki opini: : teroris adalah Islam dan Islam adalah teroris.  Opini semacam ini jelas sangat menyesatkan. Bukankah ini yang tak diinginkan Koran Tempo. Namun, mengapa mereka tak meminta KPI menindak tegas stasiun televisi?
2  2. Insiden Monas tahun 2008. Koran Tempo memberitakan sebagai aksi kekerasan umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Islam pun diopinikan sebagai antikebhinekaan, mengingat saat peristiwa terjadi bertepatan dengan Hari Pancasila. Padahal, bentrokan antara FPI dan AAKBB disebabkan oleh provokasi AKKBB. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka sisihkan, dan hanya memberitakan aksi kekerasan FPI.
Keesokan harinya, Koran Tempo menampilkan foto headline saat Munarman, tokoh FPI, sedang “mencekik” seorang laki-laki –yang ditulis mereka sebagai anggota AKKBB–, untuk memberikan efek dramatis aksi kekerasan FPI. Ternyata, fakta yang sesungguhnya tidak demikian. Munarman justru sedang berusaha mencegah anggota FPI melakukan serangan kepada anggota AKKBB.
3. Tahun 2011, terjadi insiden antara warga Ciketing Asem, Bekasi dengan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang menyebabkan dua orang jemaat HKBP tertusuk tepat di hari ketiga Idul Fitri. Episode selanjutnya sangat mudah diduga. Berbagai media (cetak dan elektronik), baik dalam maupun luar negeri, kompak mengangkat peristiwa itu dengan satu angel yang seragam: kebebasan beribadah. Judul kemudian dibuat beragam. Beberapa di antaranya: Pemkot Bekasi Diminta Berikan Izin Ibadah untuk jemaat HKBP (www.detik.com), Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan (www.detik.com), Indonesia, Belajarlah Toleransi (www.kompas.com), Kebebasan Beragama Belum Terjamin (www.kompas.com), Ada Pertemuan sebelum Penusukan (www.kompas.com), Kebebasan Beribadah Terancam (Media Indonesia), KWI: Gejala Intoleransi Terjadi (www.kompas.com), Sukur Nababan: Ini Tindakan Biadab, (www.kompas.com), Jemaat HKBP Ditusuk saat akan Beribadah (Koran Tempo), Christian Worshippers Attacked in Indonesia (New York Times/Associated Press).
Nah, lakon sejenis juga mereka lakukan terhadap PKS, partai Islam terbesar  di Tanah Air. Dan satu pekan terakhir aksi mereka bagai gelombang dahsyat yang siap meluluhlantakkan PKS. Koran Tempo dan kawan-kawannya begitu giat menghubungkan Ahmad Fathanah (AF) dengan LHI dan PKS. Kebetulan saya sering sengaja membeli Koran Tempo ketika isu PKS dan Islam sedang hangat-hangatnya. Sekadar ingin mengetahui cara mereka menyajikan berita.
Dalam headline Koran Tempo Rabu, 8 Mei 2013, tertulis judul: Fathanah Pasok Mobil ke Artis hingga PKS, dilengkapi dengan foto yang sangat tendensius dan sarkastis. Terpampang ilustrasi empat orang di dalam mobil dengan  posisi AF memegang kemudi, disampingnya artis Vitalia Shesya (dengan baju ketat dan bagian atasnya setengah terbuka) dan Ayu Azhari memakai kerudung serta LHI di belakang dengan wajah tersenyum. 
Begitu pula yang dilakukan media lainnya. Bahkan TV One merasa perlu untuk mewawancara khusus Vitalia Shesya. Tujuannya satu: agar terbentuk opini AF adalah kader PKS dan begitulah kelakuan kader PKS: korupsi sekaligus doyan wanita.
Mereka bertambah semangat lagi membuat berita tak netral dengan menabrak prinsip-prinsip jurnalistik saat terjadi insiden penyitaan illegal KPK terhadap mobil LHI di kantor DPP PKS. Ramai-ramai mereka menulis: PKS Melawan KPK; PKS Menghambat Pemberantasan Korupsi, dll. Padahal mereka hanya mengandalkan informasi sepihak dari Johan Budi, jubir KPK.
Mengapa media bertindak tidak adil? Itu karena tubuh media massa terdiri dari beragam irisan: pemilik modal (kapital), ideologi, kepentingan kelompok atau perorangan, pasar, dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia publik jika kebanyakan media kita—yang menjadi mainstream (arus utama)—dimiliki oleh pemodal yang beridelogi pluralisme, sekularisme dan liberalism. Karenanya jangan kaget jika berita yang diangkat pun bertujuan untuk memuluskan penyebaran ideologi tersebut.
Berkelindan dengan itu, jargon netralitas media dan sebagainya hanyalah pepesan kosong. Hanya janji-janji manis dan kita tak lagi boleh berharap kepada media untuk menyajikan informasi yang benar karena media telah roboh sebagai pilar keempat demokrasi. 
Erwyn Kurniawan 
Islamedia.web.id