Rabu, 08 Mei 2013

Anis Matta: Pesona Sang Nabi

“Kalau saja aku adalah Muhammad, aku tak akan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha.”
Pernyataan ini barangkali mewakili perasaan kita semua. Pesona keteduhan di haribaan Allah swt, di puncak langit ketujuh, di Sidratul Muntaha, terlalu menggoda untuk ditinggalkan apalagi untuk kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi. 
Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke Sidratul Muntaha memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh tekanan. Disusul kematian orang-orang tercinta yang menjadi penyangga yaitu Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan ini perlu untuk menghibur sang Nabi dengan panorama kebesaran Allah swt.
 
Tapi Sidratul Muntaha bukanlah penghentian. 
Maka sang Nabi pun akhirnya turun ke bumi. Menembus kegelapan hati kemanusiaan, dan menyalakannya kembali dengan api cinta. 
 
Cintalah yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi. 
Cinta juga yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat ia berdoa setelah anak-anak Thaif melemparinya dengan batu sampai kakinya berdarah: “Ya Allah, berilah petunjuk pada umatku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Seperti juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian saat ia membebaskan penduduk Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan berdarah selama dua puluh tahun. ‘Pergilah kalian semua, kalian sudah kumaafkan.”, katanya ksatria.
 
Dengan kekuatan cintalah sang Nabi menaklukkan jiwa-jiwa manusia dan meretas jalan cepat kedalamnya. Maka wahyu yang mengalir bagai air, membersihkan kerat-kerat hati yang kotor dan sakit, kemudian menyatukannya kembali dalam jalinan persaudaraan abadi lalu menggerakannya untuk menyalakan dunia dengan api cinta mereka. Seketika kota Madinah menyala dengan cinta. Lalu jazirah Arab. Lalu Persia. Lalu Romawi. Lalu dunia…
 
Jalan cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat sederhana. Karena ia menjangkau pangkal hati secara langsung, yang darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula. Bahkan ketika ia menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya dan seketika ia berujung haru.
 
Begitulah sebuah pertanyaan sederhana pun dapat mengantar Khalid menuju Islam. Sang Nabi bertanya kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu masuk Islam, “Kemana Khalid? Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal besar di dalam dirinya.” Khalid yang pernah membantai pasukan panah Sang Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu, ia sedang merencanakan serangan kepada sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah. Khalid pun mencapai kepasrahannya.
 
Serial Cinta Anis Matta
***
 
Sejauh mana kami telah meneladani perjuanganmu, ya Rasulullah?
Pantaskah kami mengaku sebagai pejuang da’wah?
Jika lisan ini sering mengeluh…
Jika hati ini sering luput dari keikhlasan…
Jika jasad ini sering malas untuk digerakkan…
 
Dan bagaimana mungkin kami mampu menyentuh hati?
Jika da’wah ini, telah berlari jauh dari sebuah rasa cinta untuk mereka…