“Kalau saja aku adalah Muhammad, aku tak akan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha.”
Pernyataan
ini barangkali mewakili perasaan kita semua. Pesona keteduhan di
haribaan Allah swt, di puncak langit ketujuh, di Sidratul Muntaha,
terlalu menggoda untuk ditinggalkan apalagi untuk kehidupan penuh darah
dan air mata di muka bumi.
Dua
kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan. Sebab perjalanan ke Sidratul
Muntaha memang terjadi setelah sepuluh tahun masa kenabian yang penuh
tekanan. Disusul kematian orang-orang tercinta yang menjadi penyangga
yaitu Khadijah dan Abu Thalib. Perjalanan ini perlu untuk menghibur sang
Nabi dengan panorama kebesaran Allah swt.
Tapi Sidratul Muntaha bukanlah penghentian.
Maka sang Nabi pun akhirnya turun ke bumi. Menembus kegelapan hati kemanusiaan, dan menyalakannya kembali dengan api cinta.
Cintalah yang menggerakkan langkah kakinya turun ke bumi.
Cinta juga
yang mengilhami batinnya dengan kearifan saat ia berdoa setelah
anak-anak Thaif melemparinya dengan batu sampai kakinya berdarah: “Ya
Allah, berilah petunjuk pada umatku. Sesungguhnya mereka tidak
mengetahui.”
Seperti
juga cinta menghaluskan jiwanya sebelas tahun kemudian saat ia
membebaskan penduduk Makkah yang ia taklukkan setelah pertarungan
berdarah selama dua puluh tahun. ‘Pergilah kalian semua, kalian sudah
kumaafkan.”, katanya ksatria.
Dengan
kekuatan cintalah sang Nabi menaklukkan jiwa-jiwa manusia dan meretas
jalan cepat kedalamnya. Maka wahyu yang mengalir bagai air, membersihkan
kerat-kerat hati yang kotor dan sakit, kemudian menyatukannya kembali
dalam jalinan persaudaraan abadi lalu menggerakannya untuk menyalakan
dunia dengan api cinta mereka. Seketika kota Madinah menyala dengan
cinta. Lalu jazirah Arab. Lalu Persia. Lalu Romawi. Lalu dunia…
Jalan
cinta selalu melahirkan perubahan besar dengan cara yang sangat
sederhana. Karena ia menjangkau pangkal hati secara langsung, yang
darimana segala perubahan dalam diri seseorang bermula. Bahkan ketika ia
menggunakan kekerasan, cinta selalu mengubah efeknya dan seketika ia
berujung haru.
Begitulah
sebuah pertanyaan sederhana pun dapat mengantar Khalid menuju Islam.
Sang Nabi bertanya kepada saudara laki-laki Khalid yang sudah lebih dulu
masuk Islam, “Kemana Khalid? Sesungguhnya aku menyaksikan ada akal
besar di dalam dirinya.” Khalid yang pernah membantai pasukan panah Sang
Nabi dalam perang Uhud seketika tergetar. Padahal saat itu, ia sedang
merencanakan serangan kepada sang Nabi menjelang perjanjian Hudaibiyah.
Khalid pun mencapai kepasrahannya.
Serial Cinta Anis Matta
***
Sejauh mana kami telah meneladani perjuanganmu, ya Rasulullah?
Pantaskah kami mengaku sebagai pejuang da’wah?
Jika lisan ini sering mengeluh…
Jika hati ini sering luput dari keikhlasan…
Jika jasad ini sering malas untuk digerakkan…
Dan bagaimana mungkin kami mampu menyentuh hati?
Jika da’wah ini, telah berlari jauh dari sebuah rasa cinta untuk mereka…
Sumber: www.pks-kotabogor.org